Peraturan Menteri Keuangan Nomor 50/PMK.07/2017 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa

versi pdf (tanpa lampiran) PMK TKDD No. 50-PMK.07-2017

versi pdf (lengkap) PMK-50-2017-TKDD

 

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR  50/PMK.07/2017

TENTANG

PENGELOLAAN TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

 

 

Menimbang   :   a.     bahwa pelaksanaan mengenai penganggaran, pengalokasian, penyaluran dan penatausahaan, pedoman penggunaan, dan pemantauan serta evaluasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.07/2016 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.07/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.07/2016 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.07/2016 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Desa;

  1. bahwa dalam rangka meningkatkanefisiensi,  efektivitas,  dan akuntabilitas penganggaran, pengalokasian, penyaluran dan penatausahaan, pedoman penggunaan, dan pemantauan serta evaluasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa;

c.bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa;

 

Mengingat      :   1.    Undang-Undang  Nomor  21 Tahun  2001 tentang   Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua  Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4884);

  1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
  2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633);
  4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentangKeistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 170, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia          Nomor 5339);

 

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4575);
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5423);
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5558) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5864);
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.02/2015 tentang Tata Cara Perencanaan, Penelaahan, dan Penetapan Alokasi Anggaran Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara, dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1909);

 

MEMUTUSKAN:

Menetapkan   :   PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGELOLAAN TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA.

 

 

 

 

 

BAB I

KETENTUAN UMUM

 

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Transfer ke Daerah dan Dana Desa yang selanjutnya disingkat TKDD adalah bagian dari Belanja Negara yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada Daerah dan Desa dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan yang telah diserahkan kepada Daerah dan Desa.
  2. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  3. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
  4. Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  5. Transfer ke Daerah adalah bagian dari Belanja Negara dalam rangka mendanai pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa Dana Perimbangan, Dana Insentif Daerah, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
  6. Dana Desa adalah dana yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.
  7. Dana Perimbangan adalah dana yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang terdiri atas Dana Transfer Umum dan Dana Transfer Khusus.
  8. Dana Insentif Daerah yang selanjutnya disingkat DID adalah dana yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada daerah tertentu berdasarkan kriteria tertentu dengan tujuan untuk memberikan penghargaan atas perbaikan kinerja tertentu di bidang tata kelola keuangan daerah, pelayanan dasar publik, dan kesejahteraan masyarakat.
  9. Dana Otonomi Khusus adalah dana yang dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu Daerah, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atasUndang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi  Undang-Undang, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
  10. Dana Tambahan Infrastruktur Dalam Rangka Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat yang selanjutnya disebut DTI adalah dana tambahan yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.
  11. Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang selanjutnya disebut Dana Keistimewaan DIY adalah dana yang dialokasikan untuk penyelenggaraan urusan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang   Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
  12. Dana Transfer Umum adalah dana yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada daerah untuk digunakan sesuai dengan kewenangan daerah guna mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
  13. Dana Transfer Khusus adalah dana yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada daerah dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus, baik fisik maupun nonfisik yang merupakan urusan daerah.
  14. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah dana yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada Daerah berdasarkan angka persentase tertentu dari pendapatan negara untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
  15. Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah dana yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar Daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
  16. Dana Bagi Hasil Pajak yang selanjutnya disebut DBH Pajak adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Penghasilan Pasal 21, Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.
  17. Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat PBB adalah pajak yang dikenakan atas bumi dan bangunan, kecuali Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.
  18. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lainnya sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan.
  19. Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang selanjutnya disebut PPh WPOPDN adalah Pajak Penghasilan terutang oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri berdasarkan ketentuan Pasal 25 dan Pasal 29 Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan yang berlaku kecuali Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (8) Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan.
  20. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau yang selanjutnya disingkat DBH CHT adalah bagian dari Transfer ke Daerah yang dibagikan kepada provinsi penghasil cukai dan/atau provinsi penghasil tembakau.
  21. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam yang selanjutnya disingkat DBH SDA adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan sumber daya alam kehutanan, mineral dan batubara, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pengusahaan panas bumi.
  22. Dana Alokasi Khusus Fisik yang selanjutnya disebut DAK Fisik adalah dana yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus fisik yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
  23. Dana Alokasi Khusus Nonfisik yang selanjutnya disebut DAK Nonfisik adalah dana yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada Daerah dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus nonfisik yang merupakan urusan daerah.
  24. Dana Bantuan Operasional Sekolah yang selanjutnya disebut Dana BOS adalah dana yang digunakan terutama untuk mendanai belanja nonpersonalia bagi satuan pendidikan dasar dan menengah sebagai pelaksana program wajib belajar dan dapat dimungkinkan untuk mendanai beberapa kegiatan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
  25. Dana Bantuan Operasional Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini yang selanjutnya disebut Dana BOP PAUD adalah dana yang digunakan untuk biaya operasional pembelajaran dan dukungan biaya personal bagi anak yang mengikuti pendidikan anak usia dini.
  26. Dana Tunjangan Profesi Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah yang selanjutnya disebut Dana TP Guru PNSD adalah tunjangan profesi yang diberikan kepada guru Pegawai Negeri Sipil Daerah yang telah memiliki sertifikat pendidik dan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  27. Dana Tambahan Penghasilan Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah yang selanjutnya disebut DTP Guru PNSD adalah tambahan penghasilan yang diberikan kepada guru Pegawai Negeri Sipil Daerah yang belum mendapatkan tunjangan profesi guru Pegawai Negeri Sipil Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  28. Dana Tunjangan Khusus Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah yangselanjutnya disebut Dana TKG PNSD adalah tunjangan yang diberikan kepada guru Pegawai Negeri Sipil Daerah sebagai kompensansi atas kesulitan hidup dalam melaksanakan tugas di daerah khusus, yaitu di desa yang termasuk dalam kategori sangat tertinggal menurut indeks desa membangun dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
  29. Dana Bantuan Operasional Kesehatan dan Bantuan Operasional Keluarga Berencana yang selanjutnyadisebut Dana BOK dan BOKB adalah dana yang digunakan untuk meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan bidang kesehatan, khususnya pelayanan di Pusat Kesehatan Masyarakat, penurunan angka kematian ibu, angka kematian bayi, malnutrisi, serta meningkatkan keikutsertaan Keluarga Berencana dengan peningkatan akses dan kualitas pelayanan Keluarga Berencana yang merata.
  30. Dana Peningkatan Kapasitas Koperasi, Usaha Kecil Menengah yang selanjutnya disebut Dana PK2UKM adalah dana yang digunakan untuk biaya operasional penyelenggaraan pelatihan pengelolaan koperasi, dan usaha kecil menengah.
  31. Dana Pelayanan Administrasi Kependudukan yang selanjutnya disebut Dana Pelayanan Adminduk adalah dana yang digunakan untuk menjamin keberlanjutan dan keamanan Sistem Administrasi Kependudukan (SAK) terpadu dalam menghasilkan data dan dokumen kependudukan yang akurat dan seragam di seluruh Indonesia.
  32. Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggungjawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara.
  33. Indikasi Kebutuhan Dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa yang selanjutnya disebut Indikasi Kebutuhan Dana TKDD adalah indikasi dana yang perlu dianggarkan dalam rangka pelaksanaan TKDD.
  34. Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran kementerian negara/lembaga.
  35. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh PPA BUN.
  36. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
  37. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
  38. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  39. Rencana Dana Pengeluaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa yang selanjutnya disebut Rencana Dana Pengeluaran TKDD adalah rencana kerja dan anggaran yang memuat rincian kebutuhan dana dalam rangka pelaksanaan TKDD.
  40. Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam yang selanjutnya disingkat PNBP SDA adalah bagian dari Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari sumber daya alam kehutanan, mineral dan batubara, perikanan, minyak bumi, gas bumi, dan pengusahaan panas bumi.
  41. Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang selanjutnya disingkat KKKS adalah badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan kontrak kerja sama.
  42. Pengusaha Panas Bumi adalah Pertamina atau perusahaan penerusnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kontraktor kontrak operasi bersama (joint operation contract), dan pemegang izin pengusahaan panas bumi.
  43. Kurang Bayar Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disebut Kurang Bayar DBH adalah selisih kurang antara DBH yang dihitung berdasarkan realisasi rampung penerimaan negara dengan DBH yang telah disalurkan ke Daerah atau DBH yang dihitung berdasarkan prognosa realisasi penerimaan negara pada satu tahun anggaran tertentu.
  44. Lebih Bayar Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disebut Lebih Bayar DBH adalah selisih lebih antara DBH yang dihitung berdasarkan realisasi rampung penerimaan negara dengan DBH yang telah disalurkan ke Daerah atau DBH yang dihitung berdasarkan prognosa realisasi penerimaan negara pada satu tahun anggaran tertentu.
  45. Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa.
  46. Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PA BUN adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga.
  47. Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah satuan kerja pada masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau satuan kerja di kementerian negara/lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.
  48. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari BUN untuk melaksanakan sebagian fungsiKuasa BUN.
  49. Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara yang selanjutnya disingkat SPAN adalah bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara yang meliputi penetapan bisnis proses dan sistem informasi manajemen perbendaharaan dan anggaran negara terkait manajemen DIPA, penyusunan anggaran, manajemen kas, manajemen komitmen, manajemen pembayaran, manajemen penerimaan, dan manajemen pelaporan.
  50. Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat Instansi yang selanjutnya disingkat SAKTI adalah aplikasi yang dibangun guna mendukung pelaksanaan sistem perbendaharaan dan penganggaran negara pada tingkat instansi meliputi modul penganggaran, modul komitmen, modul pembayaran, modul bendahara, modul persediaan, modul aset tetap, modul akuntansi dan pelaporan dengan memanfaatkan sumber daya dan teknologi informasi.
  51. Aplikasi Online Monitoring Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara yang selanjutnya disebut Aplikasi OMSPAN adalah aplikasi yang digunakan dalam rangka memonitoring transaksi dalam Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara dan menyajikan informasi sesuai kebutuhan yang diakses melalui jaringan berbasis web.
  52. Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi daerah kabupaten atau walikota bagi daerah kota.
  53. Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral.
  54. Rekening Kas Umum Daerah yang selanjutnya disingkat RKUD adalah rekening tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh gubernur, bupati, atau walikota untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah pada bank yang ditetapkan.
  55. Rekening Kas Desa yang selanjutnya disingkat RKD adalah rekening tempat penyimpanan uang Pemerintahan Desa yang menampung seluruh penerimaan Desa dan untuk membayar seluruh pengeluaran Desa pada bank yang ditetapkan.
  56. Surat Keputusan Penetapan Rincian Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat SKPRTD adalah surat keputusan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran yang memuat rincian jumlah transfer setiap daerah menurut jenis transfer dalam periode tertentu.
  57. Surat Keputusan Penetapan Rincian Dana Desa yang selanjutnya disingkat SKPRDD adalah surat keputusan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran yang memuat rincian jumlah Dana Desa setiap kabupaten/kota dalam satu tahun anggaran.
  58. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh KPA BUN/Pejabat Pembuat Komitmen, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
  59. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh KPA BUN/Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan.
  60. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara selaku Kuasa Bendahara Umum Negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
  61. Pejabat Pembuat Komitmen Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPK BUN adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA BUN/PPA BUN/KPA BUN untuk mengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran Transfer ke Daerah.
  62. Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPSPM BUN adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA BUN/PPA BUN/KPA BUN untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.

 

 

  1. Lembar Konfirmasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa yang selanjutnya disebut LKT adalah dokumen yang memuat rincian penerimaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa oleh Daerah.
  2. Lembar Rekapitulasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa yang selanjutnya disebut LRT adalah dokumen yang memuat rincian penerimaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa oleh Daerah dalam 1 (satu) tahun anggaran.
  3. 67. Infrastruktur adalah fasilitas teknis, fisik, sistem, perangkat keras, dan lunak yang diperlukan untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat dan mendukung jaringan struktur agar pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat dapat berjalan dengan baik.

 

Pasal 2

(1)      TKDD meliputi:

  1. Transfer ke Daerah; dan
  2. Dana Desa.

(2)      Transfer ke Daerah, terdiri atas:

  1. Dana Perimbangan;
  2. DID; dan
  3. Dana Otonomi Khusus serta Dana Keistimewaan DIY.

(3)      Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud pada         ayat (2) huruf a, terdiri atas:

  1. Dana Transfer Umum; dan
  2. Dana Transfer Khusus.

(4)      Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada  ayat (3) huruf a, terdiri atas:

  1. DBH; dan
  2. DAU.

(5)      DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, terdiri atas:

  1. DBH Pajak, meliputi:
  2. DBH PBB;
  3. DBH PPh Pasal 21 dan PPh WPOPDN; dan
  4. DBH CHT.
  5. DBH SDA, meliputi:
  6. DBH Minyak Bumi dan Gas Bumi;
  7. DBH Pengusahaan Panas Bumi;
  8. DBH Mineral dan Batubara;
  9. DBH Kehutanan; dan
  10. DBH Perikanan.

(6)      Dana Transfer Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, terdiri atas:

  1. DAK Fisik;
  2. DAK Nonfisik, meliputi:
  3. Dana BOS;
  4. Dana BOP PAUD;
  5. Dana TP Guru PNSD;
  6. DTP Guru PNSD;
  7. Dana TKG PNSD;
  8. Dana BOK dan BOKB;
  9. Dana PK2UKM; dan
  10. Dana Pelayanan Adminduk.

(7)      Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, terdiri atas:

  1. Dana Otonomi Khusus Provinsi Aceh;
  2. Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua;
  3. Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua Barat;
  4. Dana Tambahan Infrastruktur Provinsi Papua; dan
  5. Dana Tambahan Infrastruktur Provinsi Papua Barat.

 

BAB II

RUANG LINGKUP PENGELOLAAN TKDD

Pasal 3

Ruang lingkup pengelolaan TKDD, meliputi:

  1. Penganggaran;
  2. Pengalokasian;
  3. Penyaluran;
  4. Penatausahaan, Pertanggungjawaban, dan Pelaporan;
  5. Pedoman Penggunaan; dan
  6. Pemantauan dan Evaluasi.

BAB III

PENGANGGARAN

 

Pasal 4

(1)      Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan selaku PPA BUN Pengelolaan TKDD menyusun Indikasi Kebutuhan Dana TKDD.

(2)      Indikasi Kebutuhan Dana TKDD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Direktorat Jenderal Anggaran paling lambat bulan Februari.

(3)      Penyusunan dan penyampaian Indikasi Kebutuhan Dana TKDD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara perencanaan, penelaahan, dan penetapan alokasi BA BUN, dan pengesahan DIPA BUN.

 

Pasal 5

(1)      Indikasi Kebutuhan Dana TKDD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), terdiri atas:

  1. Indikasi Kebutuhan Dana Transfer ke Daerah; dan
  2. Indikasi Kebutuhan Dana Desa.

(2)      Indikasi Kebutuhan Dana Transfer ke Daerah untuk Dana Transfer Umum berupa DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a, disusun dengan memperhatikan:

  1. perkembangan DBH dalam 3 (tiga) tahun terakhir; dan
  2. perkiraan penerimaan pajak dan PNBP yang dibagihasilkan.

(3)      Indikasi Kebutuhan Dana Transfer ke Daerah untuk Dana Transfer Umum berupa DAU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b, disusun dengan memperhatikan:

  1. perkiraan celah fiskal per daerah secara nasional;
  2. perkembangan DAU dalam 3 (tiga) tahun terakhir; dan
  3. perkiraan penerimaan dalam negeri neto.

(4)      Indikasi Kebutuhan Dana Transfer ke Daerah untuk Dana Transfer Khusus berupa DAK Fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) huruf a, disusun dengan memperhatikan:

  1. arah dan prioritas bidang/subbidang DAK Fisik untuk mendukung pencapaian prioritas nasional dalam kerangka pembangunan jangka menengah;
  2. kebutuhan tahunan pendanaan prioritas nasional yang akan didanai melalui DAK Fisik;
  3. kebutuhan pendanaan untuk percepatan penyediaan infrastruktur dan sarana dan prasarana dasar, serta percepatan pembangunan Daerah perbatasan, Daerah tertinggal, dan Daerah kepulauan;
  4. kebutuhan pemenuhan anggaran pendidikan sebesar 20% (dua puluh persen) dan kesehatan sebesar 5% (lima persen) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
  5. perkembangan DAK dan/atau DAK Fisik dalam 3 (tiga) tahun terakhir.

(5)      Indikasi Kebutuhan Dana Transfer ke Daerah untuk Dana Transfer Khusus berupa DAK Nonfisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) huruf b, disusun dengan memperhatikan:

  1. pengalihan dana dekonsentrasi menjadi DAK Nonfisik;
  2. perkembangan dana transfer lainnya dan/atau DAK Nonfisik dalam 3 (tiga) tahun terakhir; dan
  3. perkiraan kebutuhan belanja operasional dan/atau biaya per unit (unit cost) untuk masing-masing jenis DAK Nonfisik.

(6)      Indikasi Kebutuhan Dana Transfer ke Daerah untuk DID sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b, disusun dengan memperhatikan:

  1. capaian kinerja Daerah di bidang tata kelola keuangan daerah, pelayanan dasar publik, dan kesejahteraan masyarakat;
  2. perkembangan DID dalam 3 (tiga) tahun terakhir; dan
  3. arah kebijakan DID.

(7)      Indikasi Kebutuhan Dana Transfer ke Daerah untuk Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan DIY sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c, disusun dengan memperhatikan:

  1. besaran Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan DIY yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; dan
  2. kinerja pelaksanaan Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan DIY.

(8)      Indikasi Kebutuhan Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b, disusun dengan memperhatikan:

  1. persentase Dana Desa yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
  2. kinerja pelaksanaan Dana Desa.

 

Pasal 6

(1)      Dalam rangka menyusun Indikasi Kebutuhan Dana DBH:

  1. Direktorat Jenderal Pajak menyampaikan perkiraan penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh WPOPDN serta PBB kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan;
  2. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menyampaikan perkiraan penerimaan CHT kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan; dan
  3. Direktorat Jenderal Anggaran menyampaikan perkiraan PNBP SDA minyak bumi dan gas bumi, pertambangan mineral dan batubara, pengusahaan panas bumi, kehutanan, dan perikanan kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.

(2)      Perkiraan penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh WPOPDN, PBB, CHT, dan PNBP SDA minyak bumi dan gas bumi, pertambangan mineral dan batubara, pengusahaan panas bumi, kehutanan, dan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat minggu pertama bulan Februari.

 

Pasal 7

(1)      Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan Direktorat Jenderal Anggaran bersama dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan kementerian/lembaga teknis membahas arah kebijakan, sasaran, ruang lingkup, dan pagu DAK Fisik.

(2)      Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan bersama dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan, menentukan jenis/bidang/subbidang DAK Fisik.

(3)      Dalam rangka menentukan jenis/bidang/subbidang DAK Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menyampaikan:

  1. program dan/atau kegiatan yang menjadi prioritas nasional;
  2. lokasi dari program dan/atau kegiatan yang menjadi prioritas nasional;
  3. perkiraan kebutuhan anggaran untuk mendanai kegiatan; dan
  4. data pendukung,

kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.

 

 

(4)      Dalam rangka menentukan jenis/bidang/subbidang DAK Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menyiapkan:

  1. kebutuhan pemenuhan anggaran pendidikan sebesar 20% (dua puluh persen) dan kesehatan sebesar 5% (lima persen) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
  2. perkembangan DAK Fisik dalam 3 (tiga) tahun terakhir.

(5)      Berdasarkan penentuan jenis/bidang/subbidang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan kementerian/lembaga teknis melakukan pembahasan untuk menentukan jenis-jenis kegiatan DAK Fisik.

(6)      Dalam rangka menentukan jenis-jenis kegiatan DAK Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (5), kementerian/lembaga teknis menyampaikan:

  1. ruang lingkup, sasaran, dan target manfaat program dan/atau kegiatan;
  2. prioritas kegiatan per bidang/subbidang DAK Fisik;
  3. rincian kegiatan berupa nama kegiatan, target output kegiatan, satuan biaya, dan lokasi kegiatan;
  4. perkiraan kebutuhan anggaran untuk mendanai kegiatan; dan
  5. data pendukung,

kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

 

 

 

 

Pasal 8

(1)      Berdasarkan penentuan jenis/bidang/subbidang dan kegiatan DAK Fisik sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 7 ayat (2) dan ayat (5), Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan surat pemberitahuan mengenai jenis/bidang/subbidang dan kegiatan DAK Fisik kepada Kepala Daerah.

(2)      Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada  ayat (1), paling sedikit memuat:

  1. jenis DAK Fisik yang dapat diusulkan oleh Daerah;
  2. bidang/subbidang DAK Fisik dan jenis-jenis kegiatan dari masing-masing bidang/subbidang DAK Fisik;
  3. Format usulan DAK Fisik; dan
  4. Batas waktu usulan DAK Fisik.

(3)      Dalam hal setelah disampaikan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat perubahan bidang DAK Fisik,  Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan pemberitahuan tersebut kepada Kepala Daerah.

 

Pasal 9

(1)      Kepala Daerah menyusun usulan DAK Fisik dengan mengacu pada surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.

(2)      Penyusunan usulan DAK Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:

  1. kesesuaian usulan kegiatan dengan prioritas nasional dan prioritas daerah;
  2. sinkronisasi usulan kegiatan antarbidang;
  3. skala prioritas kegiatan per bidang/subbidang;
  4. target output kegiatan yang akan dicapai, termasuk untuk memenuhi Standar Pelayanan Minimum;
  5. lokasi pelaksanaan kegiatan;
  6. satuan biaya masing-masing kegiatan; dan
  7. tingkat penyerapan dana dan capaian output DAK dan/atau DAK Fisik dalam 3 (tiga) tahun terakhir.

 

Pasal 10

(1)      Kepala Daerah menyampaikan usulan DAK Fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dalam bentuk dokumen fisik (hardcopy) dan/atau dokumen elektronik (softcopy) kepada:

  1. menteri/pimpinan lembaga teknis terkait;
  2. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; dan
  3. Menteri Keuangan.

(2)      Bupati/walikota menyampaikan salinan usulan DAK Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada gubernur untuk mendapatkan rekomendasi.

(3)      Penyampaian usulan DAK Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan salinan usulan DAK Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat tanggal 15 Mei.

(4)      Dalam hal tanggal 15 Mei bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, maka batas waktu penyampaian usulan DAK Fisik dan salinan usulan DAK Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pada hari kerja berikutnya.

 

Pasal 11

(1)      Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan kementerian/lembaga teknis terkait masing-masing melakukan verifikasi usulan DAK Fisik.

 

 

 

(2)      Verifikasi usulan DAK Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan terhadap:

  1. kelengkapan dan kesesuaian usulan DAK Fisik dengan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1);
  2. kesesuaian antara rekapitulasi usulan DAK Fisik dengan rincian usulan DAK Fisik per bidang/subbidang;
  3. kesesuaian usulan DAK Fisik antara dokumen fisik (hardcopy) dengan dokumen elektronik (softcopy); dan
  4. batas waktu penyampaian usulan DAK Fisik.

(3)      Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan mengkoordinasikan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan kementerian/lembaga teknis.

 

Pasal 12

(1)      Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan kementerian/lembaga teknis terkait masing-masing melakukan penilaian kelayakan usulan DAK Fisik berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3).

(2)      Penilaian kelayakan usulan DAK Fisik oleh Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:

  1. kesesuaian usulan kegiatan dengan menu kegiatan per bidang/subbidang DAK Fisik yang ditetapkan oleh kementerian/lembaga teknis;
  2. kewajaran nilai usulan kegiatan dan indeks kemahalan konstruksi; dan

 

  1. alokasi dan kinerja penyerapan DAK Fisik serta tingkat capaian output tahun sebelumnya.

(3)      Penilaian kelayakan usulan DAK Fisik oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:

  1. target output dan lokasi  prioritas kegiatan per bidang/subbidang per tahun secara nasional;
  2. target output dan lokasi prioritas kegiatan per bidang/subbidang dalam jangka menengah secara nasional; dan
  3. target output dan prioritas nasional dalam Rencana Kerja Pemerintah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.

(4)      Penilaian kelayakan usulan DAK Fisik oleh  kementerian/lembaga teknis terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:

  1. kesesuaian usulan kegiatan dengan jenis-jenis kegiatan per bidang/subbidang DAK Fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).
  2. usulan target output kegiatan dengan memperhatikan:
  3. data teknis kegiatan pada data pendukung usulan DAK Fisik;
  4. perbandingan data teknis kegiatan pada data pendukung usulan DAK Fisik dengan data teknis yang dimiliki oleh kementerian/lembaga teknis;
  5. tingkat capaian Standar Pelayanan Minimum bidang/subbidang yang terkait oleh daerah;
  6. target output/manfaat kegiatan per bidang/subbidang DAK yang diusulkan oleh daerah dalam jangka pendek dan jangka menengah; dan
  7. target output/manfaat per bidang/subbidang DAK secara nasional dalam jangka pendek dan jangka menengah.
  8. kewajaran nilai usulan kegiatan.

 

Pasal 13

(1)      Kementerian/lembaga teknis terkait menyusun hasil penilaian kelayakan usulan DAK Fisik berupa nama kegiatan, target output, nilai wajar kegiatan, dan lokasi kegiatan secara berurutan sesuai prioritas kegiatan  per bidang/subbidang DAK Fisik per Daerah.

(2)      Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menyusun hasil penilaian kelayakan usulan DAK Fisik berupa nama kegiatan, target output, dan lokasi prioritas kegiatan secara berurutan sesuai lokasi prioritas kegiatan per bidang/subbidang DAK Fisik per Daerah.

(3)      Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menyusun hasil penilaian kelayakan usulan DAK Fisik berupa persandingan target output, nilai wajar kegiatan, indeks kemahalan konstruksi, alokasi, dan kinerja penyerapan DAK Fisik serta capaian output tahun anggaran sebelumnya per bidang/subbidang DAK Fisik per Daerah.

(4)      Hasil penilaian kelayakan usulan DAK Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan oleh kementerian/lembaga teknis terkait dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat tanggal 15 Juni.

(5)      Dalam hal tanggal 15 Juni bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, batas waktu penyampaian hasil penilaian kelayakan usulan DAK Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pada hari kerja berikutnya.

Pasal 14

(1)      Berdasarkan hasil penilaian kelayakan Usulan DAK Fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menghitung dan menyusun rincian pagu per jenis/bidang/subbidang DAK Fisik.

(2)      Rincian pagu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibahas antara Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan kementerian/lembaga teknis terkait.

(3)      Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam berita acara pembahasan antara Kementerian Keuangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan kementerian/lembaga teknis.

 

Pasal 15

(1)      Dalam rangka menyusun Indikasi Kebutuhan Dana DAK Nonfisik:

  1. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyampaikan perkiraan kebutuhan Dana BOS, Dana BOP PAUD, Dana TP Guru PNSD, DTP Guru PNSD, dan Dana TKG PNSD;
  2. Kementerian Kesehatan menyampaikan perkiraan kebutuhan Dana BOK;
  3. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional menyampaikan perkiraan kebutuhan Dana BOKB;
  4. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah menyampaikan perkiraan kebutuhan Dana PK2UKM; dan
  5. Kementerian Dalam Negeri menyampaikan perkiraan kebutuhan Dana Pelayanan Adminduk,

kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.

(2)      Perkiraan kebutuhan pendanaan masing-masing jenis DAK Nonfisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat minggu pertama bulan Februari.

(3)      Berdasarkan perkiraan kebutuhan pendanaan yang disampaikan oleh kementerian/lembaga teknis terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menyusun Indikasi Kebutuhan Dana DAK Nonfisik.

 

Pasal 16

(1)      Dalam rangka menyusun kebutuhan pendanaan Dana Tambahan Infrastruktur Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, Gubernur Papua dan Gubernur Papua Barat menyampaikan usulan Dana Tambahan Infrastruktur kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.

(2)      Dalam rangka menyusun kebutuhan pendanaan Dana Keistimewaan DIY, Gubernur DIY menyampaikan usulan Dana Keistimewaan DIY kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.

(3)      Penyampaian usulan Dana Tambahan Infrastruktur dan Dana Keistimewaan DIY sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat minggu pertama bulan Februari.

(4)      Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud pada         ayat (1) dan ayat (2), Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menyusun Indikasi Kebutuhan Dana Tambahan Infrastruktur Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat serta Dana Keistimewaan DIY.

 

 

 

 

Pasal 17

Indikasi Kebutuhan Dana TKDD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) digunakan sebagai dasar Kebutuhan Dana TKDD dan penyusunan arah kebijakan serta alokasi TKDD dalam Nota Keuangan dan Rancangan APBN.

 

BAB IV

PENGALOKASIAN

 

Bagian Kesatu

Dana Bagi Hasil

 

Paragraf 1

Rencana Penerimaan DBH Pajak dan DBH CHT

 

Pasal 18

(1)    Berdasarkan pagu penerimaan pajak dalam Rancangan Undang-Undang mengenai APBN yang disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Direktur Jenderal Pajak menetapkan:

  1. rencana penerimaan PBB; dan
  2. rencana penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh WPOPDN.

(2)    Rencana penerimaan PBB sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) huruf a, terdiri atas rencana penerimaan PBB:

  1. Perkebunan;
  2. Perhutanan;
  3. Minyak Bumi dan Gas Bumi;
  4. Pengusahaan Panas Bumi, dan
  5. Pertambangan lainnya dan Sektor lainnya.

(3)    Rencana penerimaan PBB dan rencana penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh WPOPDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Direktur Jenderal Pajak kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat minggu kedua bulan September.

(4)    Rencana penerimaan PBB dan rencana penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh WPOPDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dirinci menurut kabupaten dan kota.

(5)    Rencana penerimaan PBB Migas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dirinci berdasarkan:

  1. PBB Minyak Bumi dan Gas Bumi dari areal daratan (onshore) setiap KKKS menurut kabupaten dan kota;
  2. PBB Minyak Bumi dan Gas Bumi dari areal perairan lepas pantai (offshore) setiap KKKS; dan
  3. PBB Minyak Bumi dan Gas Bumi dari tubuh bumi setiap KKKS.

(6)    Rincian rencana penerimaan PBB Minyak Bumi dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dibedakan untuk:

  1. PBB Minyak Bumi dan Gas Bumi yang ditanggung Pemerintah; dan
  2. PBB Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibayar langsung oleh KKKS ke bank persepsi.

(7)    Rencana penerimaan PBB Pengusahaan Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dirinci berdasarkan Pengusaha Panas Bumi setiap kabupaten dan kota.

(8)    Rencana penerimaan PBB Pertambangan lainnya dan sektor lainnya  sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dirinci berdasarkan sektor pertambangan lainnya dan sektor lainnya menurut kabupaten dan kota.

 

Pasal 19

(1)    Direktur Jenderal Bea dan Cukai menyampaikan:

  1. realisasi penerimaan CHT yang dibuat di Indonesia tahun sebelumnya yang dirinci setiap Daerah; dan
  2. rencana penerimaan CHT yang dibuat di Indonesia sesuai dengan pagu dalam Rancangan Undang-Undang mengenai APBN yang disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat,

kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.

(2)    Realisasi penerimaan CHT dan rencana penerimaan CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat minggu kedua bulan September.

(3)    Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian menyampaikan data rata-rata produksi tembakau kering untuk 3 (tiga) tahun sebelumnya kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat minggu kedua bulan September.

 

Paragraf 2

Penetapan Daerah Penghasil dan

Dasar Penghitungan DBH SDA

 

Pasal 20

(1)    Berdasarkan pagu PNBP SDA dalam Rancangan               Undang-Undang mengenai APBN yang disampaikan  oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menerbitkan:

  1. surat penetapan Daerah penghasil dan dasar penghitungan bagian Daerah penghasil sumber daya alam minyak bumi dan gas bumi, pengusahaan panas bumi; dan
  2. surat penetapan Daerah penghasil dan dasar penghitungan bagian Daerah penghasil sumber daya alam mineral dan batubara,

untuk setiap provinsi, kabupaten, dan kota penghasil tahun anggaran berkenaan.

(2)    Surat penetapan Daerah penghasil dan dasar penghitungan bagian Daerah penghasil sumber daya alam pengusahaan panas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun berdasarkan kontrak pengusahaan panas bumi sebelum dan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.

(3)    Surat penetapan Daerah penghasil dan dasar penghitungan bagian Daerah penghasil untuk sumber daya alam minyak bumi dan gas bumi, dan pengusahaan panas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran dan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat minggu kedua bulan September.

(4)    Surat penetapan Daerah penghasil dan dasar penghitungan bagian Daerah penghasil untuk sumber daya alam mineral dan batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat minggu kedua bulan September.

 

Pasal 21

Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, setelah berkoordinasi dengan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, menyampaikan data:

  1. estimasi distribusi revenue dan entitlement Pemerintah setiap KKKS; dan
  2. estimasi reimbursement Pajak Pertambahan Nilai setiap KKKS,

kepada Direktur Jenderal Anggaran, paling lambat minggu keempat bulan Agustus.

 

Pasal 22

(1)    Direktur Jenderal Pajak menyampaikan data perkiraan PBB Minyak Bumi dan PBB Gas Bumi yang dirinci setiap KKKS kepada Direktur Jenderal Anggaran sebagai faktor pengurang dalam penghitungan PNBP SDA Minyak Bumi dan Gas Bumi.

(2)    Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan data perkiraan PNBP SDA Minyak Bumi dan Gas Bumi setiap KKKS serta PNBP SDA Pengusahaan Panas Bumi setiap pengusaha untuk Setoran Bagian Pemerintah yang sudah memperhitungkan data perkiraan komponen pengurang pajak dan pungutan lainnya kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.

(3)    Data perkiraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah diterima secara lengkap:

  1. faktor pengurang berupa:
  2. perkiraan PBB Minyak dan Gas Bumi setiap KKKS dari Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
  3. perkiraan PBB Pengusahaan Panas Bumi setiap Pengusaha dari Direktorat Jenderal Pajak;
  4. estimasi reimbursement Pajak Pertambahan Nilai Minyak dan Gas Bumi setiap KKKS dari Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; dan
  5. estimasi reimbursement Pajak Pertambahan Nilai Panas Bumi setiap pengusaha dari Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral;
  6. surat penetapan Daerah penghasil dan dasar penghitungan bagian Daerah sumber daya alam minyak bumi dan gas bumi serta pengusahaan panas bumi untuk setiap provinsi, kabupaten, dan kota tahun anggaran berkenaan; dan
  7. data estimasi distribusi revenue dan entitlement Pemerintah setiap KKKS untuk sumber daya alam minyak bumi dan gas bumi dan setiap pengusaha untuk sumber daya alam pengusahaan panas bumi.

 

Pasal 23

(1)      Berdasarkan pagu PNBP SDA dalam Rancangan Undang-Undang mengenai APBN yang disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat:

  1. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan surat penetapan Daerah penghasil dan dasar penghitungan bagian Daerah penghasil PNBP SDA Kehutanan tahun anggaran berkenaan; dan
  2. Menteri Kelautan dan Perikanan menyusun data pendukung dan dasar penghitungan PNBP SDA Perikanan.

(2)      Surat penetapan Daerah penghasil dan dasar penghitungan bagian Daerah penghasil PNBP SDA Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)          huruf a disampaikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat minggu kedua bulan September.

(3)      Data pendukung dan dasar penghitungan PNBP SDA perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat minggu kedua bulan September.

 

Paragraf 3

Perubahan Data

 

Pasal 24

(1)       Perubahan data dapat dilakukan dalam hal terjadi:

  1. perubahan APBN;
  2. perubahan Daerah penghasil dan/atau dasar penghitungan bagian Daerah penghasil DBH SDA dan PNBP SDA; dan/atau
  3. salah hitung.

(2)      Direktur Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Bea Cukai, atau Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan  perubahan data:

  1. rencana penerimaan PBB, penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh WPOPDN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1);
  2. rencana penerimaan CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b; atau
  3. perkiraan PNBP SDA Minyak Bumi Dan Gas Bumi setiap KKKS dan PNBP SDA pengusahaan panas bumi setiap pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2),

kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat minggu keempat bulan Oktober.

(3)      Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, atau Menteri Kelautan dan Perikanan menyampaikan perubahan data:

  1. penetapan Daerah penghasil dan dasar penghitungan bagian Daerah penghasil untuk sumber daya alam minyak bumi dan gas bumi, pengusahaan panas bumi, dan mineral dan batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1);
  2. penetapan daerah penghasil dan dasar penghitungan bagian daerah penghasil PNBP SDA Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a; atau
  3. pendukung dan dasar penghitungan PNBP SDA Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b,

kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat minggu keempat bulan Oktober tahun anggaran berkenaan.

 

Paragraf 4

Prognosa Realisasi Penerimaan Pajak

 

Pasal 25

(1)      Direktur Jenderal Pajak melakukan perhitungan prognosa realisasi penerimaan:

  1. PBB; dan
  2. PPh Pasal 21 dan PPh WPOPDN setiap kabupaten dan kota.

(2)      Prognosa realisasi penerimaan PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas prognosa realisasi penerimaan PBB:

  1. Perkebunan;
  2. Perhutanan;
  3. Minyak Bumi dan Gas Bumi;
  4. Pengusahaan Panas Bumi; dan
  5. Pertambangan Lainnya dan Sektor Lainnya.

(3)      Prognosa realisasi penerimaan PBB Minyak Bumi dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dirinci berdasarkan:

  1. PBB Minyak Bumi dan Gas Bumi yang ditanggung Pemerintah; dan
  2. PBB Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibayar langsung oleh KKKS ke bank persepsi.

(4)      Prognosa realisasi penerimaan PBB Minyak Bumi dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dirinci berdasarkan:

  1. PBB Minyak Bumi dan Gas Bumi dari areal daratan (onshore) setiap KKKS menurut kabupaten dan kota; dan
  2. PBB Minyak Bumi dan Gas Bumi dari areal perairan lepas pantai (offshore) dan PBB Minyak Bumi dan Gas Bumi dari tubuh bumi setiap KKKS.

(5)      Prognosa realisasi penerimaan PBB Pengusahaan Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dirinci menurut pengusaha setiap kabupaten dan kota.

(6)      Prognosa realisasi penerimaan PBB Pertambangan Lainnya dan Sektor Lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dirinci berdasarkan sektor pertambangan lainnya dan sektor lainnya menurut kabupaten dan kota.

 

 

(7)      Prognosa realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Direktur Jenderal Pajak kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat minggu keempat bulan Oktober.

 

Paragraf 5

Prognosa Realisasi Penerimaan PNBP SDA

 

Pasal 26

(1)      Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Menteri Kelautan dan Perikanan masing-masing melakukan penghitungan prognosa realisasi penerimaan PNBP SDA yang dibagihasilkan pada tahun anggaran berkenaan setiap provinsi, kabupaten, dan kota penghasil.

(2)      Penghitungan prognosa realisasi penerimaan PNBP SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui rekonsiliasi data antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Daerah penghasil, yang melibatkan Kementerian Keuangan.

(3)      Hasil rekonsiliasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam berita acara rekonsiliasi.

(4)      Prognosa realisasi penerimaan PNBP SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Menteri Kelautan dan Perikanan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat minggu keempat bulan Oktober.

 

Pasal 27

(1)      Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral melakukan penghitungan prognosa realisasi lifting minyak bumi dan gas bumi setiap provinsi, kabupaten, dan kota penghasil tahun anggaran berkenaan.

(2)      Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral melakukan penghitungan prognosa realisasi produksi Pengusahaan Panas Bumi setiap provinsi, kabupaten, dan kota penghasil tahun anggaran berkenaan.

(3)      Penghitungan prognosa realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan melalui rekonsiliasi data antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan daerah penghasil, dengan melibatkan Kementerian Keuangan.

(4)      Hasil rekonsiliasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam berita acara rekonsiliasi.

(5)      Prognosa realisasi lifting minyak bumi dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral kepada Direktur Jenderal Anggaran dan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat minggu kedua bulan Oktober.

(6)      Prognosa realisasi produksi pengusahaan panas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral kepada Direktur Jenderal Anggaran dan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat minggu kedua bulan Oktober.

(7)      Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi menyampaikan prognosa distribusi revenue dan entitlement Pemerintah setiap KKKS tahun anggaran berkenaan kepada Direktur Jenderal Anggaran paling lambat minggu kedua bulan Oktober.

 

 

(8)      Prognosa distribusi revenue dan entitlement Pemerintah untuk minyak bumi sebagaimana dimaksud pada          ayat (7) disampaikan menurut jenis minyak bumi setiap KKKS tahun anggaran berkenaan.

 

Pasal 28

(1)      Berdasarkan prognosa realisasi lifting minyak bumi dan gas bumi, prognosa realisasi produksi pengusahaan panas bumi, dan prognosa distribusi revenue dan entitlement Pemerintah setiap KKKS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (5), ayat (6), dan ayat (7), Direktur Jenderal Anggaran melakukan penghitungan prognosa realisasi penerimaan PNBP SDA:

  1. Minyak Bumi dan Gas Bumi setiap KKKS; dan
  2. Pengusahaan Panas Bumi setiap pengusaha.

(2)      Prognosa realisasi penerimaan PNBP SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah memperhitungkan faktor pengurang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22       ayat (3) huruf a.

(3)      Prognosa realisasi penerimaan PNBP SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Direktur Jenderal Anggaran kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat minggu keempat bulan Oktober.

 

Paragraf 6

Realisasi Penerimaan Pajak, CHT, dan PNBP SDA

 

Pasal 29

(1)      Direktur Jenderal Pajak menyampaikan data realisasi penerimaan PBB dan PPh Pasal 21 dan PPh WPOPDN setiap kabupaten dan kota kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lama 1 (satu) bulan setelah hasil pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

 

(2)      Direktur Jenderal Bea dan Cukai menyampaikan data realisasi penerimaan CHT setiap kabupaten dan kota kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, paling lama 1 (satu) bulan setelah hasil pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

(3)      Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Direktur Jenderal Anggaran sesuai tugas dan fungsi masing-masing menyampaikan realisasi PNBP SDA Minyak Bumi dan Gas Bumi, Panas Bumi, Mineral dan Batubara, Kehutanan, dan Perikanan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lama 1 (satu) bulan setelah hasil pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

 

Paragraf 7

Penghitungan dan Penetapan Alokasi

 

Pasal 30

(1)      DBH PBB terdiri atas:

  1. DBH PBB bagian provinsi, kabupaten, dan kota;
  2. Biaya Pemungutan PBB bagian provinsi, kabupaten, dan kota; dan
  3. DBH PBB bagi rata untuk kabupaten dan kota.

(2)      Berdasarkan rencana penerimaan PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penghitungan alokasi DBH PBB dan Biaya Pemungutan PBB bagian provinsi, kabupaten, dan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b.

(3)      Biaya Pemungutan PBB Bagian provinsi, kabupaten, dan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan persentase pembagian antara provinsi, kabupaten, dan kota.

(4)      DBH PBB bagi rata untuk kabupaten dan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berasal dari PBB bagian Pemerintah, yang seluruhnya dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten dan kota.

 

Pasal 31

(1)      Penghitungan alokasi DBH PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) untuk PBB Minyak Bumi dan Gas Bumi dan PBB Pengusahaan Panas Bumi dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. PBB Minyak Bumi dan Gas Bumi onshore dan PBB Pengusahaan Panas Bumi ditatausahakan berdasarkan letak dan kedudukan objek pajak untuk selanjutnya dibagi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
  2. PBB Minyak Bumi dan Gas Bumi offshore dan PBB Minyak Bumi dan Gas Bumi tubuh bumi ditatausahakan menurut kabupaten dan kota dengan menggunakan formula dan selanjutnya dibagi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)      Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan sebagai berikut:

  1. Untuk PBB Minyak Bumi dan Gas Bumi yang ditanggung oleh Pemerintah menggunakan formula:

Keterangan:

JP            =        Jumlah Penduduk

LW           =        Luas Wilayah

PAD          =        Pendapatan Asli Daerah

  1. Untuk PBB Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibayar langsung oleh KKKS ke bank persepsi menggunakan formula:

(3)      Penghitungan PBB Minyak Bumi dan Gas Bumi offshore dan PBB Minyak Bumi dan Gas Bumi tubuh bumi setiap kabupaten dan kota dari PBB Minyak Bumi dan Gas Bumi yang ditanggung Pemerintah ditetapkan sebagai berikut:

  1. 10% (sepuluh persen) menggunakan formula sebagaimana diatur pada ayat (2) huruf a; dan
  2. 90% (sembilan puluh persen) dibagi secara proporsional sesuai dengan prognosa realisasi PBB Minyak Bumi dan Gas Bumi tahun anggaran sebelumnya.

(4)      Dalam hal data prognosa realisasi penerimaan PBB Minyak Bumi dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) tidak disampaikan sesuai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (7), penghitungan PBB Minyak Bumi dan Gas Bumi offshore dan PBB Minyak Bumi dan Gas Bumi tubuh bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dibagi secara proporsional dengan menggunakan rencana penerimaan PBB Minyak Bumi dan Gas Bumi tahun anggaran sebelumnya.

 

Pasal 32

(1)      Rasio jumlah penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf a dihitung dengan membagi jumlah penduduk setiap kabupaten atau kota dengan total jumlah penduduk nasional.

 

 

(2)      Rasio luas wilayah sebagaimana dimaksud dalam                Pasal 31 ayat (2) huruf a dihitung dengan membagi luas wilayah setiap kabupaten atau kota dengan total luas wilayah nasional.

(3)      Rasio invers PAD sebagaimana dimaksud dalam             Pasal 31 ayat (2) huruf a dihitung dengan membagi invers PAD setiap kabupaten atau kota  dengan total invers PAD seluruh kabupaten dan kota

(4)      Rasio lifting Minyak Bumi dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 31 ayat (2) dihitung dengan membagi lifting Minyak Bumi dan Gas Bumi setiap kabupaten dan kota penghasil dengan total lifting Minyak Bumi dan Gas Bumi seluruh kabupaten dan kota penghasil.

 

Pasal 33

(1)      Data jumlah penduduk, luas wilayah, dan PAD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf a merupakan data yang digunakan dalam penghitungan DAU untuk tahun anggaran berkenaan.

(2)      Penggunaan data lifting Minyak Bumi dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4) diatur dengan ketentuan:

  1. untuk alokasi PBB Minyak Bumi dan Gas Bumi menggunakan data prognosa lifting Minyak Bumi dan Gas Bumi tahun sebelumnya dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; dan
  2. untuk perubahan alokasi PBB Minyak Bumi dan Gas Bumi menggunakan data prognosa atau realisasi lifting Minyak Bumi dan Gas Bumi tahun sebelumnya dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

 

 

 

Pasal 34

Berdasarkan rencana penerimaan PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penghitungan                                                                                                           alokasi DBH PPh Pasal 21 dan PPh WPOPDN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 35

(1)      Berdasarkan hasil penghitungan alokasi DBH PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan hasil penghitungan alokasi DBH PPh Pasal 21 dan PPh WPOPDN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ditetapkan alokasi DBH Pajak untuk provinsi, kabupaten, dan kota.

(2)      Dalam hal rencana penerimaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) berbeda sangat signifikan dengan realisasi penerimaan tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1), alokasi DBH Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disesuaikan dengan realisasi penerimaan pajak tahun-tahun sebelumnya.

(3)      Dalam hal rencana penerimaan Pajak tidak disampaikan sesuai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3), penghitungan alokasi DBH Pajak dapat dilakukan berdasarkan data penerimaan Pajak tahun sebelumnya.

(4)      Alokasi DBH Pajak menurut provinsi, kabupaten, dan kota tercantum dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.

 

Pasal 36

(1)      Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menetapkan alokasi DBH CHT setiap provinsi berdasarkan formula pembagian sebagai berikut:

DBH CHT per-provinsi = {(58% x CHT) + (38% x TBK) + (4% x IPM)} x Pagu DBH CHT

 

Keterangan:

CHT = proporsi realisasi penerimaan cukai hasil tembakau suatu provinsi tahun sebelumnya terhadap realisasi penerimaan cukai hasil tembakau nasional
TBK = proporsi rata-rata produksi tembakau kering suatu provinsi selama tiga tahun terakhir terhadap rata-rata produksi tembakau kering nasional
IPM = proporsi invers indeks pembangunan manusia suatu provinsi tahun sebelumnya terhadap invers indeks pembangunan manusia seluruh provinsi penerima cukai hasil tembakau
Pagu DBH CHT = 2% (dua persen) dari rencana penerimaan Cukai Hasil Tembakau tahun berkenaan

(2)      Alokasi DBH CHT setiap provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan kepada gubernur paling lama 5 (lima) hari kerja setelah ditetapkannya Peraturan Presiden mengenai rincian APBN atau setelah diinformasikan secara resmi melalui portal Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.

 

Pasal 37

(1)      Berdasarkan alokasi DBH CHT setiap provinsi, sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 ayat (2), gubernur menetapkan pembagian DBH CHT, dengan ketentuan:

  1. 30% (tiga puluh persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
  2. 40% (empat puluh persen) untuk kabupaten dan kota penghasil; dan
  3. 30% (tiga puluh persen) untuk kabupaten dan kota lainnya.

(2)       Alokasi DBH CHT untuk kabupaten dan kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dihitung berdasarkan variabel penerimaan cukai, dan/atau produksi tembakau, serta dapat mempertimbangkan persentase penyerapan DBH CHT tahun sebelumnya di setiap kabupaten dan kota penghasil.

(3)       Alokasi DBH CHT untuk kabupaten dan kota lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dihitung secara merata atau menggunakan variabel jumlah penduduk serta dapat mempertimbangkan persentase penyerapan DBH CHT tahun sebelumnya.

(4)       Persentase penyerapan DBH CHT tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) merupakan persentase penyerapan atas DBH CHT yang telah ditentukan penggunaannya sesuai denganketentuan peraturan perundang-undangan.

(5)       Tata cara pembagian dan besaran alokasi DBH CHT untuk provinsi, kabupaten, dan kota di provinsi yang bersangkutan ditetapkan dengan peraturan gubernur.

 

Pasal 38

(1)       Gubernur menyampaikan penetapan pembagian DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dengan tembusan kepada bupati dan walikota di wilayahnya paling lambat minggu keempat bulan November.

(2)       Menteri Keuangan memberikan persetujuan atas penetapan pembagian DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3)       Persetujuan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan hasil evaluasi atas kesesuaian penetapan gubernur atas pembagian DBH CHT setiap kabupaten dan kota terhadap ketentuan pembagian sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan  perundang-undangan.

(4)       Dalam hal gubernur tidak menyampaikan ketetapan pembagian DBH CHT setiap kabupaten dan kota sesuai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada             ayat (1), Menteri Keuangan menetapkan pembagian berdasarkan formula pembagian tahun sebelumnya dengan menggunakan data variabel penerimaan cukai dan/atau produksi tembakau di setiap kabupaten dan kota penghasil yang digunakan untuk menghitung alokasi tahun bersangkutan.

(5)       Persetujuan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan penetapan pembagian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan paling lambat bulan Desember.

 

Pasal 39

(1)      Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penghitungan alokasi PNBP SDA minyak bumi dan gas bumi setiap Daerah penghasil berdasarkan data  sebagai berikut:

  1. surat penetapan daerah penghasil dan dasar penghitungan bagian daerah penghasil sumber daya alam minyak bumi dan gas bumi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3); dan
  2. data perkiraan PNBP SDA minyak bumi dan gas bumi setiap KKKS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2).

(2)      Dalam hal PNBP SDA minyak bumi dan gas bumi setiap KKKS mencakup dua Daerah atau lebih, maka penghitungan alokasi PNBP SDA minyak bumi dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:

  1. untuk minyak bumi, PNBP SDA setiap Daerah penghasil dihitung berdasarkan rasio prognosa lifting minyak bumi setiap Daerah penghasil menurut jenis minyak bumi dikalikan dengan PNBP SDA setiap KKKS menurut jenis minyak; dan
  2. untuk gas bumi, PNBP SDA setiap daerah penghasil dihitung berdasarkan rasio prognosa lifting gas bumi setiap daerah penghasil dikalikan dengan PNBP SDA setiap KKKS.

(3)      Dalam hal data PNBP SDA minyak bumi dari suatu KKKS tidak tersedia menurut jenis minyak bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, PNBP SDA setiap Daerah penghasil dihitung berdasarkan rasio prognosa lifting minyak bumi setiap Daerah penghasil dikalikan dengan PNBP SDA KKKS yang bersangkutan.

(4)      Berdasarkan alokasi PNBP SDA minyak bumi dan gas bumi setiap Daerah penghasil, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penghitungan alokasi DBH SDA Minyak Bumi Dan Gas Bumi untuk provinsi, kabupaten, dan kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5)      Berdasarkan hasil penghitungan alokasi DBH SDA Minyak Bumi Dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan alokasi DBH SDA Minyak Bumi Dan Gas Bumi untuk provinsi, kabupaten, dan kota.

(6)      Alokasi DBH SDA Minyak Bumi Dan Gas Bumi menurut provinsi, kabupaten, dan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.

 

Pasal 40

(1)      Penghitungan DBH SDA Pengusahaan Panas Bumi untuk kontrak pengusahaan panas bumi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi dilaksanakan dengan ketentuan:

  1. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penghitungan alokasi PNBP SDA pengusahaan panas bumi setiap Daerah penghasil berdasarkan data sebagai berikut:
  2. surat penetapan daerah penghasil dan dasar penghitungan bagian Daerah penghasil sumber daya alam pengusahaan panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3); dan
  3. data perkiraan PNBP SDA pengusahaan panas bumi setiap pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2);
  4. Alokasi PNBP SDA pengusahaan panas bumi setiap Daerah penghasil sebagaimana dimaksud pada huruf a dihitung berdasarkan rasio bagian Daerah penghasil dikalikan dengan perkiraan PNBP SDA setiap pengusaha;
  5. Berdasarkan alokasi PNBP SDA pengusahaan panas bumi setiap Daerah penghasil, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penghitungan alokasi DBH SDA pengusahaan panas bumi untuk provinsi, kabupaten, dan kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
  6. Berdasarkan hasil penghitungan alokasi DBH SDA Pengusahaan Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada huruf c, ditetapkan alokasi DBH SDA Pengusahaan Panas Bumi untuk provinsi, kabupaten, dan kota.

(2)      Penghitungan DBH SDA Pengusahaan Panas Bumi untuk kontrak pengusahaan panas bumi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi dilaksanakan dengan ketentuan:

  1. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penghitungan alokasi DBH SDA Pengusahaan Panas Bumi untuk provinsi, kabupaten, dan kota berdasarkan surat penetapan daerah penghasil dan dasar penghitungan bagian daerah penghasil sumber daya alam pengusahaan panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3); dan
  2. Berdasarkan hasil penghitungan alokasi DBH SDA pengusahaan panas bumi sebagaimana dimaksud pada huruf a, ditetapkan alokasi DBH SDA Pengusahaan Panas Bumi untuk provinsi, kabupaten, dan kota.

(3)      Alokasi DBH SDA Pengusahaan Panas Bumi menurut provinsi, kabupaten, dan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan ayat (2) huruf b tercantum dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.

 

Pasal 41

(1)      Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penghitungan alokasi DBH SDA Mineral dan Batubara, Kehutanan, dan Perikanan untuk provinsi, kabupaten, dan kota berdasarkan:

  1. surat penetapan Daerah penghasil dan dasar penghitungan bagian Daerah penghasil untuk sumber daya alam mineral dan batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4);
  2. surat penetapan Daerah penghasil dan dasar penghitungan bagian Daerah penghasil PNBP SDA kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2); dan
  3. data pendukung dan dasar penghitungan PNBP SDA perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23ayat (3).

(2)      Berdasarkan hasil penghitungan alokasi DBH SDA Mineral dan Batubara, Kehutanan, dan Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan alokasi DBH SDA Mineral dan Batubara, Kehutanan, dan Perikanan untuk provinsi, kabupaten, dan kota.

(3)      Alokasi DBH SDA Mineral dan Batubara, Kehutanan, dan Perikanan menurut provinsi, kabupaten, dan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.

 

 

Pasal 42

Dalam hal Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Menteri Kelautan dan Perikanan terlambat menyampaikan data Daerah penghasil, data dasar penghitungan bagian Daerah penghasil DBH SDA dan data pendukung sesuai batas waktu yang ditetapkan dalam Pasal 20 ayat (3) dan ayat (4) dan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), penghitungan dan penetapan alokasi DBH SDA dapat dilakukan berdasarkan data yang disampaikan tahun anggaran sebelumnya.

 

Pasal 43

Dalam hal perubahan data sebagaimana dimaksud Pasal 24 ayat (2) huruf c dan ayat (3) terlambat disampaikan, maka penghitungan dan penetapan perubahan alokasi DBH SDA dapat dilakukan secara proporsional berdasarkan alokasi DBH SDA menurut provinsi/kabupaten/kota yang telah ditetapkan pada tahun anggaran sebelumnya.

 

Pasal 44

(1)      Penetapan alokasi DBH SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (5), Pasal 40 ayat (1) huruf d dan ayat (2) huruf b, dan Pasal 41 ayat (2) dan Pasal 42 dapat disesuaikan dengan mempertimbangkan realisasi PNBP SDA setiap Daerah paling kurang 3 (tiga) tahun terakhir.

(2)      Penetapan alokasi DBH SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan di bawah pagu dalam Undang-Undang mengenai APBN.

 

Paragraf 8

Perubahan Alokasi DBH

 

Pasal 45

(1)    Alokasi DBH menurut provinsi, kabupaten, dan kota yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN dapat dilakukan perubahan dalam hal terdapat perubahan data dan/atau kesalahan hitung.

(2)    Perubahan alokasi DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya perubahan data sebagaimana dimaksud dalam              Pasal 24, prognosa realisasi penerimaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (7), prognosa realisasi penerimaan PNBP SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4), dan prognosa realisasi PNBP SDA sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 28 ayat (3).

(3)    Dalam hal prognosa realisasi penerimaan PNBP SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dan prognosa realisasi PNBP SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) tidak disampaikan, Menteri Keuangan dapat melakukan perubahan alokasi DBH SDA berdasarkan prognosa realisasi PNBP SDA semester II dalam Laporan Semester Pelaksanaan APBN dan hasil rekonsiliasi dengan kementerian/lembaga terkait.

 

Paragraf 9

Penghitungan Alokasi DBH

Berdasarkan Realisasi Penerimaan Negara

 

Pasal 46

(1)    Berdasarkan data realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penghitungan realisasi alokasi DBH untuk setiap provinsi, kabupaten, dan kota.

(2)    Penghitungan alokasi DBH berdasarkan realisasi penerimaan negara dilakukan melalui mekanisme rekonsiliasi antara Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dengan kementerian/lembaga terkait.

(3)    Dalam hal alokasi DBH berdasarkan realisasi penerimaan negara lebih besar dari alokasi DBH yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN dan/atau perubahan alokasi DBH, maka terdapat Kurang Bayar DBH.

(4)    Dalam hal alokasi DBH berdasarkan realisasi penerimaan negara lebih kecil dari alokasi yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN dan/atau perubahan alokasi DBH, maka terdapat Lebih Bayar DBH.

(5)    Kurang Bayar DBH sebagaimana dimaksud pada             ayat (3), mencakup:

  1. kurang bayar atas penghitungan penerimaan PNBP SDA tahun-tahun sebelumnya yang baru teridentifikasi daerah penghasilnya;
  2. penerimaan PNBP SDA tahun-tahun sebelumnya yang tidak dapat ditelusuri Daerah penghasilnya; dan
  3. koreksi atas alokasi sebagai akibat adanya perubahan Daerah penghasil dan/atau dasar penghitungan bagian Daerah penghasil untuk tahun-tahun sebelumnya.

(6)    Pengalokasian kurang bayar atas  penerimaan PNBP SDA tahun-tahun sebelumnya yang tidak dapat ditelusuri Daerah penghasilnya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, dilakukan secara proporsional berdasarkan realisasi penyaluran pada tahun anggaran berkenaan.

(7)    Kurang Bayar DBH disampaikan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan kepada Direktorat Jenderal Anggaran untuk dianggarkan dalam APBN Perubahan atau APBN tahun anggaran berikutnya.

(8)    Lebih Bayar DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat mencakup koreksi atas alokasi sebagai akibat adanya perubahan Daerah penghasil dan/atau dasar penghitungan bagian Daerah penghasil untuk           tahun-tahun sebelumnya.

(9)    Lebih Bayar DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperhitungkan dalam penyaluran atas alokasi DBH tahun anggaran berikutnya.

(10)  Alokasi Kurang Bayar DBH dan Lebih Bayar DBH menurut provinsi, kabupaten, dan kota ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Bagian Kedua

Dana Alokasi Umum

 

Paragraf 1

Penyediaan Data

 

Pasal 47

(1)    Kepala Badan Pusat Statistik menyampaikan data dasar penghitungan DAU, yang meliputi:

  1. indeks pembangunan manusia;
  2. produk domestik regional bruto per kapita; dan
  3. indeks kemahalan konstruksi,

kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat bulan Juli.

(2)    Penyampaian data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan penjelasan metode penghitungan/pengolahan data.

(3)    Menteri Dalam Negeri menyampaikan data jumlah penduduk, kode, dan data wilayah administrasi pemerintahan provinsi, kabupaten, dan kota kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat bulan Juli.

(4)    Kepala Badan Informasi Geospasial menyampaikan data luas wilayah perairan provinsi, kabupaten, dan kota kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat bulan Juli.

(5)    Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menyampaikan data formasi Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.

(6)    Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyiapkan data DBH, PAD, total belanja daerah, dan total gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah paling lambat bulan Juli.

 

Paragraf 2

Penghitungan dan Penetapan Alokasi

 

Pasal 48

(1)    DAU untuk suatu Daerah dialokasikan dengan menggunakan formula:

DAU = CF + AD

Keterangan:

DAU     = Dana Alokasi Umum

CF        = Celah Fiskal

AD        = Alokasi Dasar

(2)    Celah Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan formula:

CF = KbF – KpF

Keterangan:

CF        = Celah Fiskal

KbF      = Kebutuhan Fiskal

KpF      = Kapasitas Fiskal

(3)    Alokasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkiraan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah.

(4)    Kebutuhan fiskal daerah diukur/dihitung berdasarkan total belanja daerah rata-rata, jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Pembangunan Manusia, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Kemahalan Konstruksi, dengan menggunakan formula:

Keterangan:

KbF      = Kebutuhan Fiskal

TBR     = Total Belanja Rata-Rata

IP         = Indeks Jumlah Penduduk

IW        = Indeks Luas Wilayah

IKK      = Indeks Kemahalan Konstruksi

IPM      = Indeks Pembangunan Manusia

IPDRD per kapita =  Indeks dari Produk Domestik Regional   Bruto (PDRB) per kapita

, , , , dan = bobot masing-masing variabel yang ditentukan berdasarkan hasil uji statistik

(5)    Kapasitas fiskal daerah merupakan penjumlahan dari PAD dan DBH dengan formula:

KpF      = PAD + DBH SDA +DBH Pajak

Keterangan:

KpF                = Kapasitas Fiskal

PAD                = Pendapatan Asli Daerah

DBH SDA      = DBH Sumber Daya Alam

DBH Pajak     = DBH Pajak

(6)    Variabel-variabel sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) digunakan oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dalam rangka menghitung alokasi DAU menurut provinsi, kabupaten, dan kota berdasarkan bobot dan persentase tertentu yang ditetapkan dengan mempertimbangkan tingkat pemerataan keuangan antar-Daerah.

(7)    Hasil penghitungan alokasi DAU menurut provinsi, kabupaten, dan kota berdasarkan Rencana Dana Pengeluaran DAU nasional dengan menggunakan formula sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada saat Pembahasan Tingkat I Nota Keuangan dan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN.

(8)    Berdasarkan pagu dalam Undang-Undang mengenai APBN dan hasil pembahasan alokasi DAU menurut provinsi, kabupaten, dan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (7), ditetapkan alokasi DAU menurut provinsi, kabupaten dan kota.

(9)    Alokasi DAU menurut provinsi, kabupaten, dan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tercantum dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.

Bagian Ketiga

DAK Fisik

 

Paragraf 1

Sinkronisasi dan Harmonisasi Kegiatan DAK Fisik

Pasal 49

(1)      Berdasarkan hasil pembahasan sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3), Kementerian Keuangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan kementerian/lembaga teknis melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah.

(2)      Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk melakukan sinkronisasi dan harmonisasi:

  1. antarkegiatan pada bidang DAK Fisik per Daerah;
  2. antarbidang DAK Fisik per Daerah;
  3. antarbidang DAK Fisik pada beberapa daerah dalam satu wilayah provinsi; dan
  4. antara kegiatan yang akan didanai dari DAK Fisik dengan kegiatan yang didanai dari sumber pendanaan lainnya.

(3)      Sinkronisasi dan harmonisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan rekomendasi gubernur atas salinan usulan DAK Fisik yang disampaikan oleh bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2).

 

 

Paragraf 2

Penghitungan dan Penetapan Alokasi

 

Pasal 50

(1)      Berdasarkan hasil sinkronisasi dan harmonisasi sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 49 ayat (2), Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan kementerian/lembaga teknis dapat melakukan penyesuaian target output per jenis/bidang/subbidang DAK Fisik per daerah.

(2)      Penyesuaian target output sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara pembahasan antara Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan kementerian/lembaga teknis.

 

Pasal 51

(1)     Berdasarkan hasil sinkronisasi dan harmonisasi dalam Pasal 49 ayat (2) dan berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2), Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menyusun perhitungan alokasi DAK Fisik           per jenis/bidang/subbidang per daerah.

(2)     Hasil perhitungan alokasi DAK Fisik                               per jenis/bidang/subbidang per daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada                 Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembahasan tingkat I Nota Keuangan dan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN.

 

Pasal 52

(1)      Berdasarkan pagu DAK Fisik dalam Undang-Undang mengenai APBN dan hasil pembahasan alokasi                 DAK Fisik per jenis/bidang/subbidang per Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2), ditetapkan alokasi DAK Fisik per jenis/bidang/subbidang per Daerah.

(2)      Alokasi DAK Fisik per jenis/bidang/subbidang per Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.

Pasal 53

(1)      Berdasarkan alokasi DAK Fisik yang telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) atau informasi resmi melalui portal Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Daerah menganggarkan dalam APBD dan menyampaikan usulan rencana kegiatan kepada kementerian/lembaga teknis.

(2)      Usulan rencana kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang memuat:

  1. rincian dan lokasi kegiatan;
  2. target output kegiatan;
  3. prioritas lokasi kegiatan;
  4. rincian pendanaan kegiatan;
  5. metode pelaksanaan kegiatan;
  6. kegiatan penunjang; dan
  7. jadwal pelaksanaan kegiatan.

(3)      Usulan rencana kegiatan sebagaimana dimaksud            ayat (1) dibahas oleh Pemerintah Daerah dengan kementerian/lembaga teknis terkait dan dituangkan dalam berita acara.

(4)      Rincian dan lokasi kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan target output sebagaimana pada ayat (2) huruf b ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga teknis terkait paling lambat minggu kedua bulan Januari dan disampaikan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat minggu kedua bulan Februari.

 

Pasal 54

(1)       Pelaksanaan DAK Fisik berpedoman pada:

  1. petunjuk teknis DAK Fisik yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden; dan
  2. standar teknis yang ditetapkan dalam peraturan menteri/pimpinan lembaga mengenai petunjuk operasional DAK Fisik.

(2)       Pemerintah Daerah dapat menggunakan paling banyak 5% (lima persen) dari alokasi DAK Fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) untuk mendanai kegiatan penunjang yang berhubungan langsung dengan kegiatan DAK Fisik, yang meliputi:

  1. desain perencanaan;
  2. biaya tender;
  3. honorarium fasilitator kegiatan DAK Fisik yang dilakukan secara swakelola;
  4. penunjukan konsultan pengawas kegiatan kontraktual;
  5. penyelenggaraan rapat koordinasi; dan
  6. perjalanan dinas ke/dari lokasi kegiatan dalam rangka perencanaan, pengendalian, dan pengawasan.

 

Bagian Keempat

DAK Nonfisik

 

Pasal 55

(1)      Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan penghitungan alokasi:

  1. Dana BOS untuk provinsi, termasuk dana cadangan BOS;
  2. Dana BOP PAUD untuk kabupaten/kota, termasuk dana cadangan BOP PAUD;
  3. Dana TP Guru PNSD untuk provinsi, kabupaten, dan kota, termasuk dana cadangan TP Guru PNSD;
  4. DTP Guru PNSD untuk provinsi, kabupaten, dan kota, termasuk dana cadangan DTP Guru; dan
  5. Dana TKG PNSD untuk provinsi, kabupaten, dan kota, termasuk dana cadangan TKG PNSD.

(2)      Penghitungan alokasi dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk memperhitungkan adanya:

  1. lebih salur atas penyaluran dana tahun anggaran sebelumnya, untuk alokasi Dana BOS dan Dana BOP PAUD; dan
  2. kurang salur dan sisa dana di kas daerah atas penyaluran dana tahun anggaran sebelumnya, untuk alokasi Dana TP Guru PNSD, DTP Guru PNSD dan Dana TKG PNSD.

(3)      Penghitungan alokasi sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) dilakukan berdasarkan:

  1. jumlah siswa dikalikan dengan biaya satuan per siswa, untuk alokasi Dana BOS;
  2. jumlah peserta didik dikalikan dengan biaya satuan per peserta didik, untuk alokasi Dana BOP PAUD;
  3. jumlah guru PNSD yang sudah bersertifikasi profesi dikalikan dengan gaji pokok, untuk alokasi Dana TP Guru PNSD;
  4. jumlah guru PNSD yang belum bersertifikasi profesi dikalikan dengan alokasi dana tambahan penghasilan per orang per bulan sesuai dengan yang ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai APBN tahun sebelumnya, untuk alokasi DTP Guru PNSD; dan
  5. jumlah guru PNSD di daerah khusus dikalikan dengan gaji pokok, untuk alokasi Dana TKG PNSD.

(4)      Penghitungan alokasi dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan:

  1. proyeksi perubahan jumlah siswa dari perkiraan semula pada tahun anggaran bersangkutan, untuk alokasi dana cadangan BOS;
  2. proyeksi perubahan jumlah peserta didik dari perkiraan semula pada tahun anggaran bersangkutan, untuk alokasi dana cadangan BOP PAUD;
  3. proyeksi perubahan jumlah guru PNSD yang sudah bersertifikasi profesi dari perkiraan semula pada tahun anggaran bersangkutan, untuk alokasi dana cadangan TP Guru PNSD;
  4. proyeksi perubahan jumlah guru PNSD yang belum bersertifikasi profesi dari perkiraan semula pada tahun anggaran bersangkutan, untuk alokasi dana cadangan DTP Guru PNSD; dan
  5. proyeksi perubahan jumlah guru PNSD di daerah khusus dari perkiraan semula pada tahun anggaran bersangkutan, untuk alokasi dana cadangan TKG PNSD.

(5)      Dalam melakukan penghitungan alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.

(6)      Hasil penghitungan alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat bulan Agustus.

(7)      Hasil penghitungan alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) digunakan sebagai bahan kebijakan alokasi DAK Nonfisik untuk disampaikan Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada saat Pembahasan Tingkat I Nota Keuangan dan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN.

(8)      Berdasarkan pagu dalam Rancangan Undang-Undang mengenai APBN yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), ditetapkan alokasi:

  1. Dana BOS menurut provinsi, termasuk dana cadangan BOS.
  2. Dana BOP PAUD menurut kabupaten/kota, termasuk dana cadangan BOP PAUD.
  3. Dana TP Guru PNSD menurut provinsi, kabupaten, dan kota, termasuk dana cadangan TP Guru PNSD.
  4. DTP Guru PNSD menurut provinsi, kabupaten, dan kota, termasuk dana cadangan DTP Guru.
  5. Dana TKG PNSD menurut provinsi, kabupaten, dan kota, termasuk dana cadangan TKG PNSD.

(9)      Alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tercantum dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.

 

Pasal 56

(1)      Kementerian Kesehatan melakukan penghitungan alokasi Dana BOK untuk kabupaten/kota.

(2)      Rincian alokasi Dana BOK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:

  1. BOK;
  2. Akreditasi Rumah Sakit;
  3. Akreditasi Pusat Kesehatan Masyarakat; dan
  4. Jaminan Persalinan.

(3)      Penghitungan alokasi Dana BOK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan:

  1. biaya operasional Pusat Kesehatan Masyarakat dikalikan dengan jumlah Pusat Kesehatan Masyarakat, untuk BOK;
  2. biaya akreditasi rumah sakit dikalikan dengan jumlah rumah sakit yang akan diakreditasi, untuk akreditasi rumah sakit;
  3. biaya akreditasi Pusat Kesehatan Masyarakat dikalikan dengan jumlah Pusat Kesehatan Masyarakat yang akan diakreditasi, untuk akreditasi Pusat Kesehatan Masyarakat; dan
  4. biaya sewa rumah tunggu kelahiran ditambah transportasi ibu bersalin, biaya persalinan, operasional rumah tunggu kelahiran dan konsumsi ibu bersalin dengan pendampingdikalikan jumlah pasien ibu bersalin, untuk jaminan persalinan.

(4)      Penghitungan alokasi Dana BOK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk memperhitungkan sisa Dana BOK di kas Daerah atas penyaluran dana BOK tahun anggaran sebelumnya.

(5)      Dalam melakukan penghitungan alokasi Dana BOK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kementerian Kesehatan melakukan koordinasi dengan Kementerian Keuangan c.q Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.

(6)      Hasil penghitungan alokasi Dana BOK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Kementerian Kesehatan kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat bulan Agustus.

(7)      Hasil penghitungan alokasi Dana BOK sebagaimana dimaksud pada ayat (6) digunakan sebagai bahan kebijakan alokasi DAK Nonfisik untuk disampaikan Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada saat Pembahasan Tingkat I Nota Keuangan dan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN.

(8)      Berdasarkan pagu dalam Rancangan Undang-Undang mengenai APBN yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), ditetapkan alokasi Dana BOK menurut kabupaten/kota.

(9)      Alokasi Dana BOK menurut kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tercantum dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.

 

Pasal 57                                           

(1)      Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional melakukan penghitungan alokasi Dana BOKB untuk kabupaten/kota.

(2)      Alokasi Dana BOKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas biaya operasional:

  1. Balai Penyuluhan KB;
  2. distribusi alat dan obat kontrasepsi; dan
  3. pergerakan Program KB di kampung KB.

(3)      Penghitungan alokasi Dana BOKB sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan berdasarkan:

  1. biaya penyuluhan KB dikalikan dengan jumlah balai penyuluhan, untuk operasional Balai Penyuluhan KB;
  2. biaya distribusi dikalikan dengan jumlah fasilitas kesehatan, untuk operasional distribusi alat dan obat kontrasepsi; dan
  3. biaya pergerakan program KB dikalikan dengan jumlah kampung KB, untuk operasional pergerakan Program KBdi kampung KB.

(4)      Penghitungan alokasi Dana BOKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk memperhitungkan sisa Dana BOKB di kas daerah atas penyaluran dana BOKB tahun anggaran sebelumnya.

(5)      Dalam melakukan penghitungan alokasi Dana BOKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional melakukan koordinasi dengan Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.

(6)      Hasil penghitungan alokasi Dana BOKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat bulan Agustus.

(7)      Hasil penghitungan alokasi Dana BOKB sebagaimana dimaksud pada ayat (6) digunakan sebagai bahan kebijakan alokasi DAK Nonfisik untuk disampaikan Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada saat Pembahasan Tingkat I Nota Keuangan dan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN.

(8)      Berdasarkan pagu dalam Undang-Undang mengenai APBN dan hasil pembahasan penghitungan alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7), ditetapkan alokasi Dana BOKB menurut kabupaten/kota.

(9)      Alokasi Dana BOKB menurut kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tercantum dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.

 

 

 

 

Pasal 58

(1)      Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah menghitung alokasi Dana PK2UKM untuk provinsi.

(2)      Penghitungan alokasi Dana PK2UKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan jumlah peserta pelatihan dikalikan dengan biaya satuan per paket pelatihan ditambah dengan honor dan fasilitasi pendamping.

(3)      Penghitungan alokasi Dana PK2UKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk memperhitungkan sisa Dana PK2UKM di kas daerah atas penyaluran Dana PK2UKM tahun anggaran sebelumnya.

(4)      Dalam melakukan penghitungan alokasi Dana PK2UKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah melakukan koordinasi dengan Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.

(5)      Hasil penghitungan alokasi Dana PK2UKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat bulan Agustus.

(6)      Hasil penghitungan alokasi Dana PK2UKM sebagaimana dimaksud pada ayat (5) digunakan sebagai bahan kebijakan alokasi DAK Nonfisik untuk disampaikan Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada saat Pembahasan Tingkat I Nota Keuangan dan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN.

(7)      Berdasarkan pagu dalam Undang-Undang mengenai APBN dan hasil pembahasan penghitungan alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), ditetapkan alokasi Dana PK2UKM menurut provinsi.

(8)      Alokasi Dana PK2UKM menurut provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tercantum dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.

 

 

Pasal 59

(1)      Kementerian Dalam Negeri menghitung alokasi Dana Pelayanan Adminduk untuk provinsi, kabupaten, dan kota.

(2)      Penghitungan alokasi Dana Pelayanan Adminduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. untuk provinsi, berdasarkan jumlah kabupaten/kota yang dilayani dikalikan dengan biaya satuan per kegiatan; dan
  2. untuk kabupaten/kota, berdasarkan jumlah penduduk yang dilayani dikalikan dengan biaya satuan per kegiatan dan biaya satuan per layanan.

(3)      Penghitungan alokasi Dana Pelayanan Adminduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk memperhitungkan sisa dana di kas daerah atas penyaluran Dana Pelayanan Adminduk tahun anggaran sebelumnya.

(4)      Dalam melakukan penghitungan Dana Pelayanan Adminduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kementerian Dalam Negeri berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.

(5)      Hasil penghitungan alokasi Dana Pelayanan Adminduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Kementerian Dalam Negeri kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat bulan Agustus.

(6)      Hasil penghitungan alokasi Dana Pelayanan Adminduk sebagaimana dimaksud pada ayat (5) digunakan sebagai bahan kebijakan alokasi DAK Nonfisik untuk disampaikan Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada saat Pembahasan Tingkat I Nota Keuangan dan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN.

(7)      Berdasarkan pagu dalam Undang-Undang mengenai APBN dan hasil pembahasan penghitungan alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), ditetapkan alokasi Dana Pelayanan Adminduk menurut provinsi,kabupaten, dan kota.

(8)      Alokasi Dana Pelayanan Adminduk menurut provinsi, kabupaten, dan kota sebagaimana dimaksud pada            ayat (7) tercantum dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.

 

Bagian Kelima

Dana Insentif Daerah

 

Paragraf 1

Penyediaan Data

 

Pasal 60

(1)         Kepala Badan Pusat Statistik menyampaikan data dasar penghitungan DID yang bersumber dari Badan Pusat Statistik kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat bulan Juli.

(2)         Sekretaris Jenderal Badan Pemeriksa Keuangan menyampaikan data opini Badan Pemeriksa Keuangan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat bulan Juli.

(3)         Menteri/pimpinan lembaga terkait menyampaikan data dasar penghitungan DID yang bersumber dari kementerian/lembaga terkait kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat bulan Juli.

(4)         Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyiapkan data APBD, realisasi APBD, dan penetapan Peraturan Daerah mengenai APBD paling lambat bulan Juli.

 

 

 

 

 

Paragraf 2

Penghitungan dan Penetapan Alokasi

 

Pasal 61

(1)      Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penghitungan alokasi DID dengan mempertimbangkan perkiraan kebutuhan pagu DID dan kebijakan pemerintah mengenai besaran pagu DID.

(2)      Penghitungan alokasi DID sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan penilaian terhadap perbaikan indikator kinerja tertentu di bidang tata kelola keuangan daerah, pelayanan dasar publik, dan kesejahteraan masyarakat.

(3)      Indikator kinerja tata kelola keuangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan indikator yang dapat digunakan sebagai penilaian terhadap perbaikan kinerja di bidang pengelolaan keuangan daerah, yang dapat berupa besarnya belanja infrastruktur di APBD, kinerja penyerapan anggaran, kinerja kemandirian fiskal, opini Badan Pemeriksa Keuangan atas laporan keuangan pemerintah daerah, serta penggunaan e-government.

(4)      Indikator kinerja pelayanan dasar publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan indikator yang dapat digunakan sebagai penilaian terhadap perbaikan kinerja pelayanan dasar publik:

  1. bidang pendidikan berupa rata-rata lama sekolah;
  2. bidang kesehatan berupa persentase bayi usia dibawah 2 (dua) tahun dengan tinggi badan pendek/sangat pendek;
  3. bidang infrastruktur berupa persentase rumah tangga menurut akses sumber air minum layak, sanitasi layak, dan persentase jalan Daerah baik dan sedang; dan
  4. kemudahan investasi berupa kinerja pelayanan terpadu satu pintu.

(5)      Indikator kinerja kesejahteraan masyarakat sebagaimana dimaksud ayat (2) merupakan indikator yang dapat digunakan sebagai penilaian terhadap perbaikan kinerja peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang dapat berupa kinerja pengentasan kemiskinan.

(6)      Indikator kinerja tata kelola keuangan daerah, pelayanan dasar publik dan kesejahteraan masyarakat yang digunakan dalam perhitungan alokasi DID sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 62

(1)      DID dialokasikan kepada Daerah dalam bentuk kategori tertentu di bidang tata kelola keuangan daerah, pelayanan dasar publik, dan kesejahteraan masyarakat.

(2)      Alokasi suatu Daerah untuk masing-masing kategori sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan bobot Daerah tersebut dibagi total bobot daerah yang mendapatkan alokasi untuk                   masing-masing kategori dikalikan dengan pagu alokasi masing-masing kategori.

(4)      Penentuan pagu alokasi untuk masing-masing kategori sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5)      Hasil penghitungan alokasi DID sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada saat Pembahasan Tingkat I Nota Keuangan dan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN.

(6)      Berdasarkan pagu dalam Undang-Undang mengenai APBN dan hasil pembahasan penghitungan alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ditetapkan alokasi DID untuk setiap Daerah.

(7)      Alokasi DID untuk setiap Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tercantum dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.

 

Bagian Keenam

Dana Otonomi Khusus

 

Pasal 63

(1)      Alokasi Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dan Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi Aceh masing-masing setara dengan 2% (dua persen) dari pagu DAU nasional.

(2)      Tambahan DBH SDA Minyak Bumi sebesar 55% (lima puluh lima persen) dan Gas Bumi sebesar 40% (empat puluh persen) dari penerimaan negara yang berasal dari sumber daya alam minyak bumi dan gas bumi dari provinsi yang bersangkutan setelah dikurangi dengan pajak dan pungutan lainnya.

(3)      Alokasi Dana Tambahan Infrastruktur dalam rangka otonomi khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat berdasarkan:

  1. usulan provinsi untuk pembiayaan infrastruktur;
  2. alokasi tahun sebelumnya;
  3. perkiraan kebutuhan pendanaan infrastruktur yang belum didanai dari DAK; dan
  4. proporsi kebutuhan pendanaan infrastruktur antara Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

 

Pasal 64

(1)      Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penghitungan alokasi Dana Otonomi Khusus, yang terdiri atas:

  1. Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat;
  2. Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi Aceh;
  3. Tambahan DBH SDA Minyak Bumi dan Gas Bumi untuk Provinsi Papua Barat dan Provinsi Aceh; dan
  4. Dana Tambahan Infrastruktur dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

(2)      Hasil penghitungan alokasi Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada saat Pembahasan Tingkat I Nota Keuangan dan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN.

(3)      Berdasarkan pagu dalam Undang-Undang mengenai APBN dan hasil pembahasan penghitungan alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan alokasi Dana Otonomi Khusus.

(4)      Alokasi Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.

 

Bagian Ketujuh

Dana Keistimewaan DIY

 

Pasal 65

(1)      Pengalokasian Dana Keistimewaan DIY dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pengalokasian dan penyaluran Dana Keistimewaan DIY.

(2)      Alokasi Dana Keistimewaan DIY sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.

 

Bagian Kedelapan

Dana Desa

 

Pasal 66

(1)      Pengalokasian Dana Desa dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pengalokasian, penyaluran, penggunaan, pemantauan dan evaluasi Dana Desa.

(2)      Alokasi Dana Desa sebagaimana dimaksud pada       ayat (1) menurut kabupaten/kota tercantum dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.

 

BAB V

PENYALURAN

 

Bagian Kesatu

Kuasa Pengguna Anggaran

 

Pasal 67

(1)      Dalam rangka pelaksanaan penyaluran TKDD, Menteri Keuangan selaku PA BUN Pengelolaan TKDD menetapkan:

  1. Direktur Dana Perimbangan sebagai KPA BUN Transfer Dana Perimbangan;
  2. Direktur Pembiayaan dan Transfer Non Dana Perimbangan sebagai KPA BUN Transfer Non Dana Perimbangan; dan
  3. Kepala KPPN sebagai KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa.

(2)      Dalam rangka pelaksanaan penyaluran TKDD sebagaimana dimaksud ayat (1), Direktur Pelaksanaan Anggaran Direktorat Jenderal Perbendaharaan ditetapkan sebagai koordinator KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa.

(3)      Kepala KPPN sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf c merupakan Kepala KPPN yang wilayah kerjanya meliputi provinsi/kabupaten/kota penerima alokasi DAK Fisik dan Dana Desa.

(4)      Dalam hal KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan/atau huruf b berhalangan tetap, Menteri Keuangan menunjuk Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pelaksana tugas KPA BUN Transfer Dana Perimbangan dan/atau pelaksana tugas KPA BUN Transfer Non Dana Perimbangan.

(5)      Dalam hal KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berhalangan tetap, Menteri Keuangan menunjuk Kepala Subbagian Umum KPPN sebagai pelaksana tugas KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa.

(6)      Tugas dan fungsi KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sebagai berikut:

  1. menetapkan Pejabat Pembuat Komitmen dan Pejabat Penanda tangan SPM;
  2. menyusun SKPRTD DAK Fisik dan SKPRDD;
  3. melakukan verifikasi atas dokumen persyaratan penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa;
  4. melaksanakan penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa;
  5. menyusun dan menyampaikan laporan realisasi penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa kepada PPA BUN Pengelolaan TKDD melalui Koordinator KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa;
  6. menatausahakan dan menyampaikan laporan realisasi penyerapan dan capaian output pelaksanaan DAK Fisik dan laporan konsolidasi realisasi penyerapan dan capaian output Dana Desa kepada PPA BUN Pengelolaan TKDD melalui Koordinator KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa;
  7. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan atas pelaksanaan anggaran kepada PPA BUN Pengelolaan TKDD melalui Koordinator KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
  8. menyusun dan menyampaikan proyeksi penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa sampai dengan akhir tahun kepada Koordinator KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa.

(7)      Penyusunan SKPRTD DAK Fisik dan SKPRDD sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b, menggunakan Aplikasi OMSPAN yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan.

(8)      Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada  ayat (6) huruf  c, menggunakan aplikasi SAKTI yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan.

(9)      Tugas dan fungsi KPA BUN Transfer Dana Perimbangan dan KPA BUN Transfer Non Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan        huruf b sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali tugas dan fungsi KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (6).

(10)   Tugas dan fungsi Koordinator KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sebagai berikut:

  1. menyusun dan menyampaikan konsolidasi laporan realisasi penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa kepada PPA BUN Pengelolaan TKDD;
  2. menyusun dan menyampaikan rekapitulasi laporan realisasi penyerapan dan capaian output pelaksanaan DAK Fisik dan rekapitulasi laporan konsolidasi realisasi penyerapan dan capaian output Dana Desa kepada PPA BUN Pengelolaan TKDD;
  3. menyusun dan menyampaikan konsolidasi laporan keuangan atas pelaksanaan anggaran kepada PPA BUN Pengelolaan TKDD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  4. menyelaraskan dan menyampaikan data transaksi dengan sistem aplikasi terintegrasi kepada PPA BUN Pengelolaan TKDD;
  5. menyampaikan bukti penyaluran elektronik kepada PPA BUN Pengelolaan TKDD; dan
  6. menyusun proyeksi penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa sampai dengan akhir tahun berdasarkan rekapitulasi laporan dari KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa melalui aplikasi Cash Planning Information Network (CPIN).

(11)   KPA BUN Transfer Dana Perimbangan, KPA BUN Transfer Non Dana Perimbangan, dan KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bertanggung jawab atas penggunaan TKDD oleh Pemerintah Daerah.

 

Bagian Kedua

Dokumen Pelaksanaan Penyaluran

 

Paragraf 1

Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran

 

Pasal 68

(1)      KPA BUN Transfer Dana Perimbangan dan KPA BUN Transfer Non Dana Perimbangan menyusun Rencana  Kerja  dan  Anggaran BUN TKDD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)      Rencana  Kerja  dan  Anggaran BUN TKDD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.

(3)      Rencana  Kerja  dan  Anggaran BUN TKDD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh KPA BUN Transfer Dana Perimbangan dan KPA BUN Transfer Non Dana Perimbangan kepada Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan untuk direviu.

(4)      Rencana  Kerja  dan  Anggaran BUN TKDD yang telah direviu oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan sebagai dasar penyusunan Rencana Dana Pengeluaran BUN TKDD.

(5)      Rencana Dana Pengeluaran BUN TKDD yang telah ditetapkan oleh Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKDD disampaikan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan kepada Direktorat Jenderal Anggaran untuk dilakukan penelaahan.

(6)      Hasil penelaahan atas Rencana Dana Pengeluaran BUN TKDD sebagaimana dimaksud pada ayat (5), yaitu berupa Daftar Hasil Penelaahan Rencana Dana Pengeluaran BUN TKDD digunakan sebagai dasar pengesahan DIPA BUN TKDD.

(7)      Penyusunan Rencana  Kerja  dan  Anggaran, Rencana Dana Pengeluaran, dan DIPA BUN TKDD untuk DAK Fisik dan Dana Desa dilakukan oleh Direktur Pembiayaan dan Transfer Non Dana Perimbangan selaku KPA BUN Transfer Non Dana Perimbangan.

(8)      DIPA BUN TKDD sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan oleh Pemimpin PPA BUN TKDD kepada Direktur Jenderal Anggaran.

(9)      Direktur Jenderal Anggaran mengesahkan DIPA BUN TKDD berdasarkan hasil penelaahan atas Rencana Dana Pengeluaran BUN TKDD sebagaimana dimaksud pada ayat (6).

(10)   Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan selaku Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKDD menyampaikan DIPA/DIPA Petikan BUN TKDD kepada:

  1. Direktur Dana Perimbangan selaku KPA BUN Transfer Dana Perimbangan untuk DIPA DAU dan DAK Nonfisik, dan DIPA DBH;
  2. Direktur Pembiayaan dan Transfer Non Dana Perimbangan selaku KPA BUN Transfer Non Dana Perimbangan untuk DIPA Dana Otonomi Khusus, DIPA Dana Keistimewaan DIY, dan DIPA DID; dan
  3. Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa melalui Koordinator KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa untuk DIPA DAK Fisik dan Dana Desa.

(11)   DIPA/DIPA Petikan BUN TKDD sebagaimana dimaksud pada ayat (10) digunakan sebagai dasar pelaksanaan kegiatan satuan kerja BUN dan pencairan dana/pengesahan bagi BUN/Kuasa BUN.

 

 

Pasal 69

(1)      KPA BUN Transfer Dana Perimbangan dan KPA BUN Transfer Non Dana Perimbangan dapat menyusun perubahan DIPA BUN TKDD.

(2)      Tata cara perubahan DIPA BUN TKDD dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara revisi anggaran.

 

Paragraf 2

SKPRTD, SKPRDD, SPP, SPM, dan SP2D

 

Pasal 70

(1)      KPA BUN Transfer Dana Perimbangan dan KPA BUN Transfer Non Dana Perimbangan menetapkan SKPRTD berdasarkan DIPA BUN TKDD sesuai dengan alokasi untuk setiap daerah yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)      KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa menetapkan SKPRTD DAK Fisik dan SKPRDD berdasarkan DIPA/DIPA Petikan DAK Fisik dan Dana Desa.

(3)      SKPRTD dan SKPRDD sebagaimana dimaksud pada           ayat (1) dan ayat (2) digunakan oleh PPK BUN sebagai dasar penerbitan SPP.

(4)      SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan oleh PPSPM BUN sebagai dasar penerbitan SPM.

(5)      SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan sebagai dasar penerbitan SP2D.

 

Bagian Ketiga

Penyaluran TKDD

 

Paragraf 1

Bentuk Penyaluran

 

Pasal 71

(1)      Penyaluran TKDD dilakukan dalam bentuk:

  1. Tunai; dan/atau
  2. Nontunai.

(2)      Penyaluran TKDD dalam bentuk tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan cara pemindahbukuan dari RKUN ke RKUD.

(3)      Dalam rangka penyaluran TKDD dalam bentuk tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bendahara Umum Daerah/Kuasa Bendahara Umum Daerah membuka RKUD pada Bank Sentral atau Bank Umum untuk menampung penyaluran TKDD dengan nama RKUD yang diikuti dengan nama Daerah yang bersangkutan.

(4)      Dalam hal terdapat perubahan RKUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Daerah wajib menyampaikan permohonan perubahan RKUD kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dengan dilampiri:

  1. asli rekening koran dari RKUD; dan
  2. salinan keputusan Kepala Daerah mengenai penunjukan bank tempat menampung RKUD.

(5)      Penyaluran TKDD dalam bentuk nontunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai konversi penyaluran DBH dan/atau DAU dalam bentuk nontunai.

 

Paragraf 2

DBH Pajak

 

Pasal 72

(1)      Penyaluran DBH PBB terdiri atas:

  1. penyaluran DBH PBB bagi rata untuk kabupaten dan kota;
  2. penyaluran DBH PBB bagian provinsi, kabupaten, dan kota, dan Biaya Pemungutan PBB bagian provinsi, kabupaten, dan kota untuk PBB sektor Perkebunan, Perhutanan, serta Pertambangan lainnya dan sektor lainnya; dan
  3. penyaluran DBH PBB bagian provinsi, kabupaten, dan kota, dan Biaya Pemungutan PBB bagian provinsi, kabupaten, dan kota untuk PBB sektor Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Pengusahaan Panas Bumi.

(2)      Penyaluran DBH PBB bagi rata untuk kabupaten dan kota dilaksanakan dalam 3 (tiga) tahap, yaitu:

  1. tahap I paling lambat bulan April;
  2. tahap II paling lambat bulan Agustus; dan
  3. tahap III paling lambat bulan November.

(3)      Penyaluran DBH PBB bagi rata untuk kabupaten dan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan rincian sebagai berikut:

  1. tahap I sebesar 30% (tiga puluh persen) dari pagu alokasi;
  2. tahap II sebesar 50% (lima puluh persen) dari pagu alokasi; dan
  3. tahap III sebesar selisih antara pagu alokasi dengan jumlah dana yang telah disalurkan pada tahap I dan tahap II.

 

Pasal 73

(1)      Penyaluran DBH PBB bagian provinsi, kabupaten, dan kota, dan Biaya Pemungutan PBB bagian provinsi, kabupaten, dan kota untuk PBB sektor Perkebunan, Perhutanan, serta Pertambangan lainnya dan sektor lainnya dilaksanakan secara mingguan, yang dimulai pada bulan Agustus setelah surat pemberitahuan pajak terutang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

(2)      Penyaluran DBH PBB bagian provinsi, kabupaten, dan kota, dan Biaya Pemungutan PBB bagian provinsi, kabupaten, dan kota sebagaimana dimaksud pada        ayat (1) untuk bulan Desember dilaksanakan satu kali sebesar sisa pagu alokasi.

 

 

 

Pasal 74

(1)      Penyaluran DBH PBB bagian provinsi, kabupaten, dan kota, dan Biaya Pemungutan PBB bagian provinsi, kabupaten, dan kota untuk PBB sektor Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Pengusahaan Panas Bumi dilaksanakan secara triwulanan, yaitu:

  1. triwulan I paling lambat bulan Maret;
  2. triwulan II paling lambat bulan Juni;
  3. triwulan III paling lambat bulan September; dan
  4. triwulan IV paling lambat bulan Desember.

(2)      Penyaluran DBH PBB bagian provinsi, kabupaten, dan kota, dan Biaya Pemungutan PBB bagian provinsi, kabupaten, dan kota sebagaimana dimaksud pada       ayat (1) dilaksanakan dengan rincian sebagai berikut:

  1. triwulan I dan triwulan II masing-masing sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pagu alokasi;
  2. triwulan III paling tinggi sebesar 30% (tiga puluh persen) dari pagu alokasi; dan
  3. triwulan IV sebesar selisih antara pagu alokasi dengan jumlah dana yang telah disalurkan pada triwulan I, triwulan II, dan triwulan III.

 

Pasal 75

(1)      Penyaluran DBH PPh Pasal 21 dan PPh WPOPDN dilaksanakan secara triwulanan, yaitu:

  1. triwulan I paling lambat bulan Maret;
  2. triwulan II paling lambat bulan Juni;
  3. triwulan III paling lambat bulan September; dan
  4. triwulan IV paling lambat bulan Desember.

(2)      Penyaluran DBH PPh Pasal 21 dan PPh WPOPDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan rincian sebagai berikut:

  1. triwulan I dan triwulan II masing-masing sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pagu alokasi;
  2. triwulan III paling tinggi sebesar 30% (tiga puluh persen) dari pagu alokasi; dan
  3. triwulan IV sebesar selisih antara pagu alokasi dengan jumlah dana yang telah disalurkan pada triwulan I, triwulan II, dan triwulan III.

 

Paragraf 3

DBH CHT

 

Pasal 76

(1)      Penyaluran DBH CHT dilaksanakan secara triwulanan, yaitu:

  1. triwulan I paling lambat bulan Maret;
  2. triwulan II paling lambat bulan Juni;
  3. triwulan III paling lambat bulan September; dan
  4. triwulan IV paling lambat bulan Desember.

(2)      Penyaluran DBH CHT sebagaimana dimaksud pada  ayat (1), dilaksanakan dengan rincian sebagai berikut:

  1. triwulan I dan triwulan II masing-masing sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pagu alokasi;
  2. triwulan III sebesar 30% (tiga puluh persen) dari pagu alokasi; dan
  3. triwulan IV sebesar selisih antara pagu alokasi dengan jumlah dana yang telah disalurkan pada triwulan I, triwulan II, dan triwulan III.

(3)      Penyaluran triwulan I dan/atau triwulan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah Kepala Daerah menyampaikan:

  1. laporan realisasi penggunaan DBH CHT semester II tahun anggaran sebelumnya;
  2. surat pernyataan telah menganggarkan kembali sisa lebih penggunaan anggaran DBH CHT tahun anggaran sebelumnya; dan
  3. surat pernyataan telah menganggarkan dana dari sumber selain DBH CHT untuk menggantikan DBH CHT yang pada tahun anggaran sebelumnya digunakan tidak sesuai peruntukannya,

kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.

(4)      Penyaluran triwulan III dan/atau triwulan IV sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah Kepala Daerah menyampaikan laporan realisasi penggunaan DBH CHT semester I tahun anggaran berjalan kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.

 

Paragraf 4

DBH SDA

 

Pasal 77

(1)      Penyaluran DBH SDA dilaksanakan secara triwulanan, yaitu:

  1. triwulan I paling lambat bulan Maret;
  2. triwulan II paling lambat bulan Juni;
  3. triwulan III paling lambat bulan September; dan
  4. triwulan IV paling lambat bulan Desember.

(2)      Penyaluran DBH SDA Minyak Bumi, Gas Bumi, Pertambangan Mineral dan Batubara, dan Pengusahaan Panas Bumi dilaksanakan dengan rincian sebagai berikut:

  1. triwulan I dan triwulan II masing-masing sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pagu alokasi;
  2. triwulan III paling tinggi sebesar 30% (tiga puluh persen) dari pagu alokasi; dan
  3. triwulan IV sebesar selisih antara pagu alokasi dengan jumlah dana yang telah disalurkan pada triwulan I, triwulan II, dan triwulan III.

(3)      Penyaluran DBH SDA Kehutanan dan Perikanan dilaksanakan dengan rincian sebagai berikut:

  1. triwulan I, triwulan II, dan triwulan III masing-masing sebesar 15% (lima belas persen) dari pagu alokasi; dan
  2. triwulan IV sebesar selisih antara pagu alokasi dengan jumlah dana yang telah disalurkan pada triwulan I, triwulan II, dan triwulan III.

(4)      Penyaluran Tambahan DBH SDA Minyak Bumi dan Gas Bumi dalam rangka otonomi khusus Provinsi Aceh dan Provinsi Papua Barat dilaksanakan setelah gubernur menyampaikan laporan tahunan penggunaan Tambahan DBH SDA Minyak Bumi dan Gas Bumi kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.

(5)      Penyaluran Tambahan DBH SDA Minyak Bumi dan Gas Bumi dalam rangka otonomi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada kabupaten/kota yang bersangkutan dilakukan oleh gubernur setelah bupati/walikota menyampaikan laporan tahunan penggunaan Tambahan DBH SDA Minyak Bumi dan Gas Bumi kepada gubernur atau pejabat yang ditunjuk.

(6)      Gubernur atau pejabat yang ditunjuk melakukan rekapitulasi laporan tahunan penggunaan Tambahan DBH SDA Minyak Bumi dan Gas Bumi dalam rangka otonomi khusus yang disampaikan oleh bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

(7)      Tata cara penyaluran, penyampaian laporan, dan format laporan tahunan penggunaan Tambahan DBH SDA Minyak Bumi dan Gas Bumi dalam rangka otonomi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh gubernur.

(8)      Laporan tahunan penggunaan Tambahan DBH SDA Minyak Bumi dan Gas Bumi dalam rangka otonomi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan            ayat (5), paling kurang memuat:

  1. besaran dana;
  2. program kegiatan yang didanai; dan
  3. capaian output.

(9)      Laporan tahunan penggunaan tambahan DBH SDA Minyak Bumi dan Gas Bumi dalam rangka otonomi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan paling lambat tanggal 15 Maret dengan melampirkan rekapitulasi laporan tahunan penggunaan tambahan DBH SDA Minyak Bumi dan Gas Bumi dalam rangka otonomi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (6).

(10)   Dalam hal tanggal 15 Maret bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, batas waktu penyampaian laporan tahunan penggunaan Tambahan DBH SDA Minyak Bumi dan Gas Bumi dalam rangka otonomi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (9) pada hari kerja berikutnya.

 

Pasal 78

(1)      Dalam hal terdapat perubahan alokasi DBH pada tahun anggaran berjalan, penyaluran DBH dilakukan berdasarkan perubahan pagu alokasi DBH.

(2)      Dalam hal perubahan pagu alokasi DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebabkan Lebih Bayar DBH, kelebihan pembayaran DBH dapat diperhitungkan dalam penyaluran DBH yang penggunaannya tidak ditentukan dan/atau DAU pada tahun anggaran berikutnya.

(3)      Dalam hal perubahan pagu alokasi DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebabkan Kurang Bayar DBH, penyaluran Kurang Bayar DBH dilaksanakan secara sekaligus sesuai dengan jumlah Kurang Bayar DBH yang telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai Kurang Bayar DBH.

 

Paragraf 5

DAU

 

Pasal 79

(1)      Penyaluran DAU dilaksanakan setiap bulan sebesar 1/12 (satu per dua belas) dari pagu alokasi.

(2)      Penyaluran DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada hari kerja pertama untuk bulan Januari dan 1 (satu) hari kerja sebelum hari kerja pertama untuk bulan berikutnya.

(3)      Penyaluran DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan penyampaian:

  1. Peraturan Daerah mengenai APBD;
  2. laporan realisasi APBD semester I;
  3. laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD;
  4. perkiraan belanja operasi dan belanja modal bulanan;
  5. laporan posisi kas bulanan; dan
  6. laporan realisasi anggaran bulanan periode 2 (dua) bulan sebelumnya oleh Daerah.

(4)      Dalam hal terjadi perubahan pagu DAU nasional dalam APBN Perubahan yang mengakibatkan perubahan alokasi DAU per  daerah, penyaluran DAU dilaksanakan setiap bulan sebesar selisih pagu alokasi DAU pada APBN Perubahan dengan jumlah DAU yang telah disalurkan, dibagi dengan jumlah sisa bulan dalam tahun anggaran berkenaan.

(5)      Dalam hal pagu alokasi DAU dalam APBN Perubahan lebih kecil dari yang telah disalurkan,  kelebihan salur DAU diperhitungkan pada penyaluran DAU tahun anggaran berikutnya.

 

Paragraf 6

DAK Fisik

 

Pasal 80

(1)      Penyaluran DAK Fisik dilaksanakan per bidang secara triwulanan, yaitu:

  1. triwulan I paling cepat pada bulan Februari dan paling lambat bulan April;
  2. triwulan II paling cepat bulan April dan paling lambat bulan Juli;
  3. triwulan III paling cepat bulan Juli dan paling lambat bulan Oktober; dan
  4. triwulan IV paling cepat bulan Oktober dan paling lambat bulan Desember.

(2)      Penyaluran DAK Fisik sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) dilaksanakan dengan rincian sebagai berikut:

  1. triwulan I sebesar 30% (tiga puluh persen) dari pagu alokasi;
  2. triwulan II dan triwulan III masing-masing sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pagu alokasi; dan
  3. triwulan IV sebesar selisih antara jumlah dana yang telah disalurkan sampai dengan triwulan III dengan nilai rencana penyelesaian kegiatan.

(3)      Nilai rencana penyelesaian kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dihitung berdasarkan nilai kontrak,  ditambah dengan nilai kegiatan yang dilaksanakan secara swakelola, ditambah nilai dana yang digunakan untuk kegiatan penunjang.

(4)      Dalam hal nilai rencana penyelesaian kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c kurang dari 80% dari pagu alokasi DAK Fisik, maka penyaluran DAK Fisik triwulan berikutnya tidak disalurkan.

(5)      Dalam hal terdapat perubahan besaran rincian penyaluran DAK Fisik sebagaimana dimaksud pada  ayat (2), KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa melakukan perbaikan SKPRTD.

 

Pasal 81

(1)      Penyaluran DAK Fisik per bidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) dilaksanakan setelah Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa menerima dokumen persyaratan penyaluran, dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. triwulan I berupa:
  2. Peraturan Daerah mengenai APBD tahun anggaran berjalan; dan
  3. laporan realisasi penyerapan dana dan capaian output kegiatan DAK Fisik per bidang tahun anggaran sebelumnya.

 

 

  1. triwulan II berupa:
  2. laporan realisasi penyerapan dana yang menunjukkan paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari dana yang telah diterima di RKUD dan capaian output kegiatan DAK Fisik per bidang triwulan I; dan
  3. daftar kontrak kegiatan, dalam hal kegiatan DAK Fisik dilakukan secara kontraktual.
  4. triwulan III berupa laporan realisasi penyerapan dana yang menunjukkan paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari dana yang telah diterima di RKUD dan capaian output kegiatan DAK Fisik per bidang sampai dengan triwulan II yang menunjukkan paling sedikit 30% (tiga puluh persen).
  5. triwulan IV berupa:
  6. laporan realisasi penyerapan dana yang menunjukkan paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) dari dana yang telah diterima di RKUD dan capaian output kegiatan DAK Fisik per bidang sampai dengan triwulan III yang menunjukkan paling sedikit 65% (enam puluh lima persen); dan
  7. laporan yang memuat nilai rencana penyelesaian kegiatan dalam rangka penyelesaian capaian output 100% (seratus persen) kegiatan DAK Fisik per bidang.

(2)      Peraturan Daerah mengenai APBD tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 berupa rekapitulasi penerimaan Peraturan Daerah mengenai APBD Tahun Anggaran berjalan yang disampaikan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan kepada Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa melalui Koordinator KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa.

(3)      Laporan realisasi penyerapan dana dan capaian output kegiatan DAK Fisik per bidang, daftar kontrak kegiatan, dan nilai rencana penyelesaian kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Kepala Daerah kepada Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa melalui aplikasi.

(4)      Penyampaian laporan realisasi penyerapan dana dan capaian output kegiatan DAK Fisik per bidang setiap triwulan, daftar kontrak kegiatan, dan nilai rencana penyelesaian kegiatan sebagaimana dimaksud pada  ayat (3) disertai dengan rekapitulasi SP2D atas penggunaan DAK Fisik per bidang dalam bentuk dokumen elektronik (softcopy).

(5)      Laporan realisasi penyerapan dana dan capaian output kegiatan DAK Fisik per bidang dan rekapitulasi SP2D atas penggunaan DAK fisik per bidang dalam bentuk dokumen elektronik (softcopy) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan dokumen yang sah dan dapat digunakan untuk keperluan pemeriksaan (audit).

(6)      Dokumen persyaratan penyaluran DAK Fisik per bidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. triwulan I paling lambat tanggal 31 Maret;
  2. triwulan II paling lambat tanggal 30 Juni;
  3. triwulan III paling lambat tanggal 30 September; dan
  4. triwulan IV paling lambat tanggal 15 Desember.

(7)      Dalam hal tanggal 31 Maret,  30 Juni, 30 September, dan 15 Desember bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, batas waktu penyampaian dokumen persyaratan penyaluran DAK Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lambat pada hari kerja berikutnya.

(8)      Penyaluran DAK Fisik per bidang dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah dokumen persyaratan penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah diterima oleh KPPN dengan lengkap dan benar.

 

 

 

 

Pasal 82

(1)      Dalam hal pagu alokasi DAK Fisik bidang tertentu sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), penyaluran DAK Fisik bidang tertentu dapat dilaksanakan sekaligus paling cepat bulan April dan paling lambat bulan Juli sebesar kebutuhan dana dalam rangka penyelesaian output kegiatan DAK Fisik.

(2)      Penyaluran DAK Fisik bidang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa menerima dokumen persyaratan penyaluran, sebagai berikut:

  1. Peraturan Daerah mengenai APBD tahun anggaran berjalan;
  2. laporan realisasi penyerapan dana dan capaian output bidang DAK Fisik tahun anggaran sebelumnya; dan
  3. daftar kontrak kegiatan.

(3)      Peraturan Daerah mengenai APBD tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berupa rekapitulasi penerimaan peraturan daerah mengenai APBD tahun anggaran berjalan yang disampaikan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan kepada Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa melalui Koordinator KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa.

(4)      Laporan realisasi penyerapan dana dan capaian output bidang DAK Fisik, dan daftar kontrak kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan  huruf c disampaikan oleh Kepala Daerah kepada Kepala KPPNselaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa.

(5)      Penyampaian dokumen persyaratan penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat tanggal 21 Juli.

 

(6)      Dalam hal tanggal 21 Juli bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, batas waktu penyampaian dokumen persyaratan penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat pada hari kerja berikutnya.

(7)      Penyaluran DAK Fisik bidang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat                   7 (tujuh) hari kerja setelah dokumen persyaratan penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima oleh KPPN dengan lengkap dan benar.

(8)      Laporan realisasi penyerapan dana dan capaian output kegiatan DAK Fisik bidang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan oleh Kepala Daerah kepada Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa paling lambat bulan November tahun anggaran berjalan.

 

Pasal 83

(1)      Dalam hal pada bidang DAK Fisik terdapat sebagian atau seluruh kegiatan yang pembayarannya tidak dapat dilakukan secara bertahap, kementerian teknis menyampaikan rekomendasi terhadap kegiatan yang pembayarannya tidak dapat dilakukan secara bertahap.

(2)      Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat bulan Februari.

(3)      Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa melalui Koordinator KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya rekomendasi.

(4)      Penyaluran bidang DAK Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:

  1. sebagian kegiatan dapat dibayarkan secara bertahap, disalurkan dengan rincian sebagai berikut:
  2. triwulan I sebesar 30% (tiga puluh persen) dari pagu alokasi;
  3. triwulan II dan triwulan III masing-masing sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pagu alokasi; dan
  4. triwulan IV sebesar selisih antara jumlah dana yang telah disalurkan sampai dengan triwulan III dengan nilai rencana penyelesaian kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (3).
  5. kegiatan tidak dapat dibayarkan secara bertahap, disalurkan setelah terpenuhi dokumen persyaratan penyaluran berupa:
  6. rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
  7. Peraturan Daerah mengenai APBD tahun anggaran berjalan;
  8. laporan realisasi penyerapan dana dan capaian output kegiatan DAK Fisik tahun anggaran sebelumnya; dan
  9. daftar kontrak kegiatan dan/atau bukti pemesanan barang atau bukti sejenis.

(5)      Pagu alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a angka 1 dan angka 2 adalah pagu alokasi bidang DAK Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikurangi dengan nilai kegiatan yang pembayarannya tidak dapat dilakukan secara bertahap.

(6)      Peraturan Daerah mengenai APBD tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b angka 2 berupa rekapitulasi penerimaan peraturan daerah mengenai APBD tahun anggaran berjalan yang disampaikan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan kepada Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa melalui Koordinator KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa.

(7)      Dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b angka 2 dan angka 3 disampaikan dalam hal seluruh kegiatan pada bidang DAK Fisik tidak dapat dibayarkan secara bertahap;

(8)      Besaran penyaluran sebagaimana dimaksud pada         ayat (4) huruf b sebesar nilai pada ringkasan kontrak dan/atau bukti pemesanan barang atau bukti sejenis;

(9)      Penyampaian dokumen persyaratan penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a untuk kegiatan yang pembayarannya dapat dilakukan secara bertahap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (6);

(10)   Laporan realisasi penyerapan dana dan capaian output, daftar kontrak kegiatan dan/atau bukti pemesanan barang atau bukti sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b angka 3 dan angka 4 disampaikan oleh Kepala Daerah kepada Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa paling lambat tanggal  31 Maret.

(11)   Dalam hal tanggal 31 Maret bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, batas waktu penyampaian dokumen persyaratan penyaluran sebagaimana dimaksud ayat (10) paling lambat pada hari kerja berikutnya.

(12)   Penyaluran kegiatan bidang DAK Fisik yang pembayarannya tidak dapat dilakukan secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disalurkan  sekaligus setelah dokumen persyaratan penyaluran sebagaimana dimaksud pada  ayat (4) huruf b diterima oleh KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa dengan lengkap dan benar.

(13)   Dalam hal dokumen persyaratan belum disampaikan sampai dengan tanggal 31 Maret sebagaimana dimaksud pada ayat (10), penyaluran DAK Fisik yang pembayarannya sebagian atau seluruhnya tidak dapat dilaksanakan secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 80.

(14)   Laporan realisasi penyerapan dana dan capaian output kegiatan DAK Fisik untuk bidang DAK Fisik yang pembayarannya sebagian atau seluruhnya tidak dapat dilaksanakan secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat bulan Desember.

 

Pasal 84

(1)     Dalam hal Kepala Daerah tidak memenuhi persyaratan penyaluran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81  ayat (1) dan/atau melampaui batas waktu penyampaian dokumen persyaratan penyaluran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (6), DAK Fisik triwulan yang bersangkutan dan triwulan selanjutnya tidak disalurkan.

(2)     Dalam hal Kepala Daerah tidak memenuhi persyaratan penyaluran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82  ayat (2) huruf b dan huruf c, dan/atau melampaui batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (5), DAK Fisik tidak disalurkan.

(3)     Dalam hal bidang DAK Fisik hanya disalurkan sebagian, maka pendanaan dan penyelesaian kegiatan dan/atau kewajiban kepada pihak ketiga atas pelaksanaan kegiatan DAK Fisik menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah.

 

Paragraf 7

DAK Nonfisik

 

Pasal 85

(1)      Penyaluran Dana BOS untuk daerah tidak terpencil dilakukan secara triwulanan, yaitu:

  1. triwulan I paling cepat bulan Januari;
  2. triwulan II paling cepat bulan April;
  3. triwulan III paling cepat bulan Juli; dan
  4. triwulan IV paling cepat bulan Oktober.

(2)      Penyaluran Dana BOS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan rincian sebagai berikut:

  1. triwulan I sebesar 20% (dua puluh persen) dari pagu alokasi;
  2. triwulan II sebesar 40% (empat puluh persen) dari pagu alokasi; dan
  3. triwulan III dan triwulan IV masing-masing sebesar 20% (dua puluh persen) dari pagu alokasi.

(3)      Penyaluran Dana BOS untuk daerah terpencil dilakukan secara semesteran, yaitu:

  1. semester I paling cepat bulan Januari; dan
  2. semester II paling cepat bulan Juli.

(4)      Penyaluran Dana BOS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan rincian sebagai berikut:

  1. semester I sebesar 60% (enam puluh persen) dari pagu alokasi; dan
  2. semester II sebesar 40% (empat puluh persen) dari pagu alokasi.

(5)      Pemerintah provinsi wajib menyalurkan Dana BOS kepada masing-masing satuan pendidikan dalam provinsi yang bersangkutan, paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya Dana BOS di RKUD               provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan  perundang-undangan.

(6)      Penyaluran Dana BOS kepada masing-masing satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) didasarkan pada rincian alokasi Dana BOS per satuan pendidikan yang dihitung sesuai data jumlah siswa yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

 

Pasal 86

(1)      Pemerintah Daerah menyampaikan:

  1. laporan realisasi penyerapan Dana BOS; dan
  2. laporan realisasi penggunaan Dana BOS,

kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan c.q. Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

(2)      Penyampaian laporan realisasi penyerapan Dana BOS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disertai dengan Rekapitulasi SP2D yang diterbitkan untuk penyaluran Dana BOS.

(3)      Laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan Dana BOS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. paling lambat tanggal 15 Juli untuk laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan triwulan I sampai dengan triwulan II bagi daerah tidak terpencil dan laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan semester I bagi daerah terpencil; dan
  2. paling lambat 15 Januari tahun anggaran berikutnya untuk laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan triwulan I sampai dengan triwulan IV bagi daerah tidak terpencil dan laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan semester I dan semester II bagi daerah terpencil.

(4)      Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a menjadi persyaratan penyaluran Dana BOS triwulan III bagi daerah tidak terpencil dan semester II bagi daerah terpencil tahun anggaran berjalan.

(5)      Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b menjadi persyaratan penyaluran Dana BOS triwulan I bagi daerah tidak terpencil dan semester I bagi daerah terpencil tahun anggaran berikutnya.

(6)      Dalam hal Daerah tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyaluran Dana BOS triwulan atau semester berikutnya tidak dapat dilaksanakan.

 

(7)      Dalam hal penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum dilaksanakan sampai dengan tanggal 30 November, maka penyaluran Dana BOS dapat dilaksanakan pada tahun anggaran berjalan sesuai dengan rekomendasi dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan c.q. Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

(8)      Dalam hal tidak ada rekomendasi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) maka Dana BOS yang belum disalurkan dianggarkan kembali melalui APBN/Perubahan APBN tahun anggaran berikutnya.

(9)      Dalam hal Dana BOS sampai dengan akhir tahun anggaran tidak dapat disalurkan karena:

  1. Pemerintah Daerah tidak menyampaikan laporan sampai dengan tanggal 30 November sebagaimana dimaksud pada ayat (7); dan
  2. tidak ada rekomendasi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8),

Menteri Keuangan merekomendasikan kepada Menteri Dalam Negeri agar Kepala Daerah yang bersangkutan dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(10)   Laporan realisasi penyerapan Dana BOS dan laporan realisasi penggunaan Dana BOS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk dokumen fisik (hardcopy) dan/atau dokumen elektronik (softcopy) melalui aplikasi.

 

Pasal 87

(1)      Dalam hal terdapat kurang dan/atau lebih salur Dana BOS, perhitungan kurang dan/atau lebih salur Dana BOS disampaikan dalam laporan realisasi penggunaan Dana BOS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86          ayat (1) huruf b.

(2)      Berdasarkan laporan realisasi penggunaan Dana BOS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan c.q. Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah menyampaikan rekomendasi kurang dan/atau lebih salur Dana BOS kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.

(3)      Rekomendasi kurang dan/atau lebih salur Dana BOS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum triwulan berkenaan berakhir bagi daerah tidak terpencil dan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum semester berkenaan berakhir bagi daerah terpencil.

(4)      Dalam hal terdapat lebih salur Dana BOS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk daerah tidak terpencil, lebih salur Dana BOS diperhitungkan dengan ketentuan:

  1. triwulan I, triwulan II, atau triwulan III diperhitungkan dalam penyaluran Dana BOS triwulan berikutnya; dan
  2. triwulan IV diperhitungkan dalam penyaluran Dana BOS triwulan I tahun anggaran berikutnya.

(5)      Dalam hal terdapat lebih salur Dana BOS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk daerah terpencil, maka lebih salur Dana BOS diperhitungkan dengan ketentuan:

  1. semester I diperhitungkan dalam penyaluran Dana BOS semester II; dan
  2. semester II diperhitungkan dalam penyaluran Dana BOS semester I tahun anggaran berikutnya.

(6)      Dalam hal terdapat kurang salur Dana BOS, rekomendasi kurang salur Dana BOS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi dasar penyaluran dana cadangan BOS.

(7)      Pemerintah Daerah provinsi wajib menyalurkan dana cadangan BOS kepada masing-masing satuan pendidikan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya dana cadangan BOS di RKUD provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(8)      Dalam hal terdapat sisa dana cadangan BOS atas kurang salur triwulan IV untuk daerah tidak terpencil atau semester II untuk daerah terpencil di RKUD provinsi, sisa dana cadangan BOS tersebut tidak diperhitungkan sebagai lebih salur pada penyaluran Dana BOS tahap berikutnya.

(9)      Daerah wajib menganggarkan kembali lebih salur Dana BOS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b,     ayat (5) huruf b, dan sisa dana cadangan BOS sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dalam Rancangan APBD tahun anggaran berikutnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 88

(1)      Penyaluran Dana BOP PAUD dilakukan secara sekaligus paling cepat bulan Maret dan paling lambat bulan Juli.

(2)      Kepala Daerah menyampaikan laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan Dana BOP PAUD kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan c.q. Direktur  Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat paling lambat bulan Februari tahun anggaran berikutnya.

(3)      Laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan Dana BOP PAUD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi syarat penyaluran Dana BOP PAUD.

(4)      Dalam hal Kepala Daerah menyampaikan persyaratan penyaluran setelah batas waktu yang ditetapkan pada ayat (2), penyaluran BOP PAUD dapat dilakukan setelah persyaratan penyaluran disampaikan oleh KepalaDaerah kepada Menteri Keuangan c.q Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat bulan Juni.

(5)      Laporan realisasi penyerapan Dana BOP PAUD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan Rekapitulasi SP2D atas penyaluran Dana BOP PAUD.

(6)      Dalam hal berdasarkan Laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terdapat sisa Dana BOP PAUD di RKUD, maka diperhitungkan dalam penyaluran Dana BOP PAUD di tahun anggaran berikutnya.

(7)      Laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan Dana BOP PAUD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam bentuk dokumen fisik (hardcopy) dan/atau dokumen elektronik (softcopy) melalui aplikasi.

(8)      Daerah wajib menganggarkan kembali sisa Dana BOP PAUD sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dalam Rancangan APBD tahun anggaran berikutnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

 

Pasal 89                                           

(1)      Dalam hal terdapat kurang salur Dana BOP PAUD, perhitungan kurang salur Dana BOP PAUD disampaikan dalam laporan realisasi penggunaan Dana BOP PAUD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88        ayat (2).

(2)      Berdasarkan laporan realisasi penggunaan Dana BOP PAUD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan c.q. Direktur  Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat menyampaikan rekomendasi kurang salur Dana BOP PAUD kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.

(3)      Rekomendasi kurang salur Dana BOP PAUD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi dasar penyaluran dana cadangan BOP PAUD.

(4)      Rekomendasi kurang salur Dana BOP PAUD diterima Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat tanggal 15 Desember.

Pasal 90

(1)      Penyaluran Dana TP Guru PNSD, DTP Guru PNSD, dan Dana TKG PNSD dilaksanakan secara triwulanan, yaitu:

  1. triwulan I paling cepat pada bulan Maret;
  2. triwulan II paling cepat pada bulan Juni;
  3. triwulan III paling cepat pada bulan September; dan
  4. triwulan IV paling cepat pada bulan November.

(2)      Penyaluran dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan, dengan rincian sebagai berikut:

  1. triwulan I sebesar 30% (tiga puluh persen) dari pagu alokasi;
  2. triwulan II dan triwulan III masing-masing sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pagu alokasi; dan
  3. triwulan IV sebesar 20% (dua puluh persen) dari pagu alokasi.

(3)      Daerah wajib membayarkan Dana TP Guru PNSD, DTP Guru PNSD, dan Dana TKG PNSD kepada guru yang berhak dan memenuhi persyaratan yang ditentukan, paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya Dana TP Guru PNSD, DTP Guru PNSD, dan Dana TKG PNSD di RKUD.

(4)      Kepala Daerah menyampaikan laporan realisasi pembayaran Dana TP Guru PNSD, DTP Guru PNSD, dan Dana TKG PNSD kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan c.q. Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan secara semesteran, dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. semester I disampaikan paling lambat tangal 15 September; dan
  2. semester II disampaikan paling lambat tanggal 15 Maret tahun anggaran berikutnya.

(5)      Laporan realisasi semester I sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a menjadi persyaratan penyaluran Dana TP Guru PNSD, DTP Guru PNSD, dan Dana TKG PNSD triwulan III tahun anggaran berjalan.

(6)      Laporan realisasi semester II sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b menjadi persyaratan penyaluran Dana TP Guru PNSD, DTP Guru PNSD, dan Dana TKG PNSD triwulan I tahun anggaran berikutnya.

(7)      Dalam hal Daerah tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud          ayat (4), penyaluran Dana TP Guru PNSD, DTP Guru PNSD, dan Dana TKG PNSD triwulan berikutnya tidak dapat dilaksanakan.

(8)      Dalam hal penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) belum dilaksanakan sampai dengan tanggal 30 November, maka penyaluran Dana TP Guru PNSD, DTP Guru PNSD, dan Dana TKG PNSD dapat dilaksanakan pada tahun anggaran berjalan sesuai dengan rekomendasi dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan c.q Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan.

(9)      Dalam hal tidak ada rekomendasi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) maka Dana TP Guru PNSD, DTP Guru PNSD, dan Dana TKG PNSD yang belum disalurkan dianggarkan kembali melalui APBN/Perubahan APBN tahun anggaran berikutnya.

(10)   Dalam hal Dana TP Guru PNSD, DTP Guru PNSD, dan Dana TKG PNSD sampai dengan akhir tahun anggaran tidak dapat disalurkan karena:

  1. Pemerintah Daerah tidak menyampaikan laporan sampai dengan tanggal 30 November sebagaimana dimaksud pada ayat (8); dan
  2. tidak ada rekomendasi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (9),

Menteri Keuangan merekomendasikan kepada Menteri Dalam Negeri agar Kepala Daerah yang bersangkutan dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(11)   Dalam hal pemerintah daerah tidak membayarkan Dana TP Guru PNSD,  DTP Guru PNSD, atau Dana TKG PNSD sesuai dengan hak guru, penyaluran Dana TP Guru PNSD, DTP Guru PNSD, atau Dana TKG PNSD periode berikutnya dapat ditunda sebesar Dana TP Guru PNSD, DTP Guru PNSD, atau Dana TKG PNSD yang tidak dibayarkan kepada guru.

(12)   Penundaan Dana TP Guru PNSD, DTP Guru PNSD, atau Dana TKG PNSD sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berdasarkan rekomendasi dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan c.q Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan setelah melakukan evaluasi atas laporan realisasi pembayaran Dana TP Guru PNSD, DTP Guru PNSD, dan Dana TKG PNSD sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

(13)   Dalam hal Dana TP Guru PNSD, DTP Guru PNSD, atau Dana TKG PNSD yang telah disalurkan ke RKUD sampai dengan triwulan IV, masing-masing tidak mencukupi untuk kebutuhan pembayaran sampai dengan 12 (dua belas) bulan, Pemerintah Daerah tetap melakukan pembayaran kepada guru PNSD berdasarkan jumlah bulan yang telah disesuaikan dengan Dana TP Guru PNSD, DTP Guru PNSD, atau Dana TKG PNSD yang diterima di RKUD.

(14)   Dalam hal terdapat kurang salur Dana TP Guru PNSD, DTP Guru PNSD, atau Dana TKG PNSD pada tahun anggaran berjalan masing-masing akan diperhitungkan dengan:

  1. dana cadangan TP Guru PNSD, DTP Guru PNSD, atau Dana TKG PNSD tahun anggaran berjalan; atau
  2. alokasi Dana TP Guru PNSD, DTP Guru PNSD, atau Dana TKG PNSD tahun anggaran berikutnya.

(15)   Penyaluran dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (14) huruf a dilakukan berdasarkan surat rekomendasi dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan c.q. Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan.

(16)   Laporan realisasi pembayaran Dana TP Guru PNSD, DTP Guru PNSD, dan  Dana TKG PNSD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan dalam bentuk dokumen fisik (hardcopy) dan/atau dokumen elektronik (softcopy) melalui aplikasi.

 

Pasal 91

(1)      Penyaluran Dana BOK untuk daerah tidak terpencil dilakukan secara triwulanan, yaitu:

  1. triwulan I paling cepat bulan Februari;
  2. triwulan II paling cepat bulan April;
  3. triwulan III paling cepat bulan Juli; dan
  4. triwulan IV paling cepat bulan Oktober.

(2)      Penyaluran Dana BOK pada tiap triwulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan masing-masing sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pagu alokasi.

(3)      Penyaluran Dana BOK untuk daerah terpencil dilakukan secara semesteran, yaitu:

  1. semester I paling cepat bulan Februari; dan
  2. semester II paling cepat bulan Juli.

(4)      Penyaluran Dana BOK pada tiap semester sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan masing-masing sebesar 50% (lima puluh persen) dari pagu alokasi.

(5)      Pemerintah kabupaten/kota wajib menyalurkan Dana BOK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) huruf a kepada Pusat Kesehatan Masyarakat di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah pemerintah kabupaten/kota menerima permintaan penyaluran Dana BOK dari Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat.

(6)      Penyaluran Dana BOK sebagaimana dimaksud ayat (5) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan daerah.

(7)      Kepala Daerah menyampaikan laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan Dana BOK kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dan Menteri Kesehatan c.q. Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan, dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. paling lambat bulan April untuk penggunaan triwulan I;
  2. paling lambat bulan Juli untuk penggunaan sampai dengan triwulan II bagi daerah tidak terpencil dan penggunaan semester I bagi daerah terpencil;
  3. paling lambat bulan Oktober untuk penggunaan sampai dengan triwulan III; dan
  4. paling lambat bulan Januari tahun anggaran berikutnya untuk penggunaan triwulan I sampai dengan triwulan IV bagi daerah tidak terpencil dan penggunaan semester I sampai dengan semester II bagi daerah terpencil.

(8)      Laporan realisasi penyerapan Dana BOK sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disertai dengan Rekapitulasi SP2D atas penggunaan Dana BOK.

(9)      Laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan Dana BOK sebagaimana dimaksud pada ayat (7) menjadi syarat penyaluran Dana BOK untuk daerah tidak terpencil, dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. penyaluran triwulan I, dalam hal Daerah telah menyampaikan laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan Dana BOK triwulan I sampai dengan triwulan IV tahun anggaran sebelumnya;
  2. penyaluran triwulan II, dalam hal Daerah telah menyampaikan laporan realisasi penyerapan yangmenunjukkan paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari Dana BOK yang telah disalurkan triwulan I;
  3. penyaluran triwulan III, dalam hal Daerah telah menyampaikan laporan realisasi penyerapan yangmenunjukkan paling sedikit 60% (enam puluh persen) dari Dana BOK yang telah disalurkan sampai dengan triwulan II dan laporan capaian output paling sedikit 30% (tiga puluh persen);
  4. penyaluran triwulan IV, dalam hal Daerah telah menyampaikan laporan realisasi penyerapan yangmenunjukkan paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari Dana BOK yang telah disalurkan sampai dengan triwulan III dan laporan capaian output paling sedikit 60% (enam puluh persen).

(10)   Laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan Dana BOK sebagaimana dimaksud pada ayat (7) menjadi syarat penyaluran Dana BOK untuk daerah terpencil, dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. penyaluran semester I, dalam hal Daerah telah menyampaikan laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan Dana BOK semester I sampai dengan semester II tahun anggaran sebelumnya; dan
  2. penyaluran semester II, dalam hal Daerah telah menyampaikan laporan realisasi penyerapan yang menunjukkan 50% (lima puluh persen) dan laporan capaian output paling sedikit 30% (tiga puluh persen).

(11)   Penyaluran Dana BOK untuk triwulan berikutnya bagi Daerah tidak terpencil/semester berikutnya bagi Daerah terpencil dapat dilakukan setelah persyaratan penyaluran disampaikan oleh Kepala Daerah kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat tanggal 15 Desember dan/atau realisasi penyerapan dan penggunaan menunjukkan persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dan ayat (10).

(12)   Dalam hal berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf d terdapat sisa Dana BOK di RKUD, maka diperhitungkan dalam penyaluran Dana BOK di tahun anggaran berikutnya.

(13)   Laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan Dana BOK sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disampaikan dalam bentuk dokumen fisik (hardcopy) dan/atau dokumen elektronik (softcopy) melalui aplikasi.

(14)   Daerah wajib menganggarkan kembali sisa Dana BOK sebagaimana dimaksud pada ayat (12) dalam Rancangan APBD tahun anggaran berikutnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 92

(1)      Penyaluran Dana BOKB dilaksanakan secara semesteran, yaitu:

  1. semester I paling cepat bulan Februari; dan
  2. semester II paling cepat bulan Juli.

(2)      Penyaluran dana BOKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan masing-masing semester sebesar 50% (lima puluh persen) dari pagu alokasi.

(3)      Kepala Daerah menyampaikan laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan Dana BOKB kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional secara semesteran, dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. paling lambat bulan Juli untuk penggunaan semester I; dan
  2. paling lambat bulan Januari tahun anggaran berikutnya untuk penggunaan semester I sampai dengan semester II.

(4)      Laporan realisasi penyerapan Dana BOKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disertai dengan Rekapitulasi SP2D atas penggunaan Dana BOKB.

(5)      Laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan Dana BOKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi syarat penyaluran Dana BOKB, dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. penyaluran semester I, dalam hal Daerah telah menyampaikan laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan Dana BOKB semester I sampai dengan semester II tahun anggaran sebelumnya;
  2. penyaluran semester II, dalam hal Daerah telah menyampaikan laporan realisasi penyerapan Dana BOKB semester I yang tidak bernilai nihil.

(6)      Penyaluran Dana BOKB semester berikutnya dapat dilakukan setelah persyaratan penyaluran disampaikan oleh Pemerintah Daerah kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat tanggal 15 Desember dan/atau realisasi penyerapan menunjukkan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b.

(7)      Dalam hal berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b terdapat sisa Dana BOKB di RKUD, maka sisa Dana BOKB diperhitungkan dalam penyaluran Dana BOKB di tahun anggaran berikutnya.

(8)      Laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan Dana BOKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan dalam bentuk dokumen fisik (hardcopy) dan/atau dokumen elektronik (softcopy) melalui aplikasi.

(9)      Daerah wajib menganggarkan kembali sisa Dana BOKB sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dalam Rancangan APBD tahun anggaran berikutnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

 

Pasal 93

(1)      Penyaluran Dana PK2UKM dilakukan secara bertahap, yaitu:

  1. tahap I paling cepat bulan Maret; dan
  2. tahap II paling cepat bulan Agustus.

(2)      Penyaluran Dana PK2UKM pada tiap tahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan  masing-masing sebesar 50% (lima puluh persen) dari pagu alokasi.

(3)      Kepala Daerah menyampaikan laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan Dana PK2UKM setiap tahap kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah c.q. Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia.

(4)      Laporan realisasi penyerapan Dana PK2UKM sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disertai dengan Rekapitulasi SP2D atas penggunaan Dana PK2UKM.

(5)      Penyampaian laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan Dana PK2UKM sebagaimana dimaksud pada  ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. paling lambat Juli untuk laporan penyerapan dan penggunaan tahap I; dan
  2. paling lambat Januari tahun anggaran berikutnya untuk laporan penyerapan dan penggunaan tahap I sampai dengan tahap II.

(6)      Laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan Dana PK2UKM sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan syarat penyaluran Dana PK2UKM tahap berikutnya.

(7)      Dalam hal Kepala Daerah menyampaikan persyaratan penyaluran setelah batas waktu yang ditetapkan pada ayat (5), penyaluran Dana PK2UKM untuk setiap tahap dapat dilakukan setelah persyaratan penyaluran disampaikan oleh Kepala Daerah kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat tanggal 15 Desember.

(8)      Dalam hal terdapat sisa Dana PK2UKM di RKUD dalam laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, maka sisa Dana PK2UKM dapat diperhitungkan dalam penyaluran Dana PK2UKM di tahun anggaran berikutnya.

(9)      Laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan Dana PK2UKM sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan dalam bentuk dokumen fisik (hardcopy) dan/atau dokumen elektronik (softcopy) melalui aplikasi.

(10)   Daerah wajib menganggarkan kembali sisa Dana PK2UKM sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dalam Rancangan APBD tahun anggaran berikutnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 94

(1)      Penyaluran Dana Pelayanan Adminduk dilakukan sekaligus paling cepat bulan Maret dan paling lambat bulan Juli.

(2)      Kepala Daerah menyampaikan laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan Dana Pelayanan Adminduk kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dan Menteri Dalam Negeri c.q. Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil paling lambat bulan Februari tahun anggaran berikutnya.

(3)      Laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan Dana Pelayanan Adminduk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi syarat penyaluran Dana Pelayanan Adminduk.

(4)      Dalam hal Kepala Daerah menyampaikan persyaratan penyaluran setelah batas waktu yang ditetapkan pada ayat (2), penyaluran Dana Pelayanan Adminduk dapat dilakukan setelah persyaratan penyaluran disampaikan oleh Kepala Daerah kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat bulan Juni.

(5)      Laporan realisasi penyerapan Dana Pelayanan Adminduk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan Rekapitulasi SP2D atas penyaluran Dana Pelayanan Adminduk.

(6)      Dalam hal terdapat sisa Dana Pelayanan Adminduk di RKUD dalam laporan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka sisa Dana Pelayanan Adminduk diperhitungkan dalam penyaluran Dana Pelayanan Adminduk di tahun anggaran berikutnya.

(7)      Laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan Dana Pelayanan Adminduk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam bentuk dokumen fisik (hardcopy) dan/atau dokumen elektronik (softcopy) melalui aplikasi.

(8)      Daerah wajib menganggarkan kembali sisa Dana Pelayanan Adminduk sebagaimana dimaksud pada        ayat (6) dalam Rancangan APBD tahun anggaran berikutnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

 

Pasal 95

(1)      Berdasarkan laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan DAK Nonfisik dari Daerah:

  1. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan verifikasi atas kebutuhan riil Dana BOS, Dana BOP PAUD, Dana TP Guru PNSD, DTP Guru PNSD, dan TKG PNSD;
  2. Kementerian Kesehatan melakukan verifikasi atas kebutuhan riil Dana BOK;
  3. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional melakukan verifikasi atas kebutuhan riil Dana BOKB;
  4. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah melakukan verifikasi atas kebutuhan riil Dana P2UKM; dan
  5. Kementerian Dalam Negeri melakukan verifikasi atas kebutuhan riil Dana Pelayanan Adminduk.

(2)      Hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk rekomendasi kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.

(3)      Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima:

  1. paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum triwulan berjalan berakhir untuk BOS daerah tidak terpencil, BOK daerah tidak terpencil, Dana TP Guru PNSD, DTP Guru PNSD, dan dana TKG PNSD;
  2. paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum semester berjalan berakhir untuk Dana BOS daerah terpencil, BOK daerah terpencil, dan BOKB; dan
  3. paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum tahun anggaran berakhir untuk Dana BOP PAUD, Dana P2UKM, dan Dana Pelayanan Adminduk.

(4)      Dalam hal berdasarkan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat lebih salur DAK Nonfisik, maka dilakukan penghentian penyaluran dan/atau penyesuaian jumlah penyaluran periode berikutnya sesuai kebutuhan riil untuk memenuhi pembayaran DAK Nonfisik sampai dengan akhir tahun anggaran.

 

Paragraf 8

DID

 

Pasal 96

(1)      Penyaluran DID dilakukan secara bertahap, yaitu:

  1. tahap I paling cepat bulan Februari; dan
  2. tahap II paling cepat bulan Juli.

(2)      Penyaluran DID pada tiap tahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan masing-masing sebesar 50% (lima puluh persen) dari pagu alokasi.

(3)      Kepala Daerah menyampaikan laporan realisasi penyerapan DID kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. paling lambat bulan Juni untuk penyerapan tahap I; dan
  2. paling lambat bulan Januari tahun anggaran berikutnya untuk penyerapan tahap I sampai dengan tahap II.

(4)      Penyaluran DID tahap I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan setelah Kepala Daerah menyampaikan:

  1. Peraturan Daerah mengenai APBD tahun anggaran berjalan;
  2. rencana penggunaan DID tahun berjalan; dan
  3. laporan realisasi penyerapan DID tahun anggaran sebelumnya bagi daerah yang mendapatkan,

kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan

(5)      Penyaluran DID tahap II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan setelah Kepala Daerah menyampaikan laporan realisasi penyerapan DID          tahap I kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.

(6)      Laporan realisasi penyerapan DID tahap I sebagaimana dimaksud pada ayat (5), menunjukkan penyerapan paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) dari dana yang diterima di RKUD.

 

Paragraf 9

Dana Otonomi Khusus, DTI, dan Dana Keistimewaan DIY

 

Pasal 97

(1)      Penyaluran Dana Otonomi Khusus dan DTI dilaksanakan secara bertahap, yaitu:

  1. tahap I paling cepat bulan Maret;
  2. tahap II paling cepat bulan Juli; dan
  3. tahap III paling cepat bulan Oktober.

(2)      Penyaluran Dana Otonomi Khusus dan DTI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan rincian sebagai berikut:

  1. tahap I sebesar 30% (tiga puluh persen) dari pagu alokasi;
  2. tahap II sebesar 45% (empat puluh lima persen) dari pagu alokasi; dan
  3. tahap III sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pagu alokasi.

(3)      Penyaluran tahap I sebagaimana dimaksud pada           ayat (1) dilakukan setelah Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menerima:

  1. pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri yang dilampiri dengan rekapitulasi alokasi dan realisasi penggunaan Dana Otonomi Khusus dan DTI tahun anggaran sebelumnya yang dirinci per provinsi/kabupaten/kota, urusan, dan capaian output per urusan; dan
  2. laporan realisasi penyerapan Dana Otonomi Khusus dan DTI sampai dengan Tahap III tahun anggaran sebelumnya dari gubernur.

(4)      Penyaluran tahap II sebagaimana dimaksud pada           ayat (1) dilakukan setelah Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menerima:

  1. pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri yang dilampiri dengan rekapitulasi alokasi dan realisasi penggunaan Dana Otonomi Khusus dan DTI Tahap I yang dirinci per provinsi/kabupaten/kota, urusan, dan capaian output per urusan; dan
  2. laporan realisasi penyerapan Dana Otonomi Khusus dan DTI Tahap I dari gubernur yang telah mencapai paling kurang 50% (lima puluh persen) dari dana yang telah diterima dalam RKUD.

(5)      Penyaluran tahap III sebagaimana dimaksud pada            ayat (1) dilakukan setelah Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menerima:

  1. pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri yang dilampiri dengan rekapitulasi alokasi dan realisasi penggunaan Dana Otonomi Khusus dan DTI sampai dengan Tahap II yang dirinci per provinsi/kabupaten/kota, urusan, dan capaian output per urusan; dan
  2. laporan realisasi penyerapan Dana Otonomi Khusus dan DTI sampai dengan Tahap II dari gubernur yang telah mencapai paling kurang 70% (tujuh puluh persen) dari dana yang telah diterima dalam RKUD.

Pasal 98

Penyaluran Dana Keistimewaan DIY dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pengalokasian dan penyaluran Dana Keistimewaan DIY.

 

Paragraf 10

Dana Desa

 

Pasal 99

(1)      Penyaluran Dana Desa dilakukan dengan cara pemindahbukuan dari RKUN ke RKUD untuk selanjutnya dilakukan pemindahbukuan dari RKUD          ke RKD.

(2)      Penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap, dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. tahap I, paling cepat bulan Maret dan paling lambat bulan Juli sebesar 60% (enam puluh persen); dan
  2. tahap II, pada bulan Agustus sebesar 40% (empat puluh persen).

(3)      Penyaluran dari RKUD ke RKD dilakukan paling lama  7 (tujuh) hari kerja setelah Dana Desa diterima di RKUD.

 

Pasal 100

(1)      Penyaluran Dana Desa dari RKUN ke RKUD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 dilaksanakan setelah Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa menerima dokumen persyaratan penyaluran, dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. tahap I berupa:
  2. Peraturan Daerah mengenai APBD tahun anggaran berjalan
  3. peraturan bupati/walikota mengenai tata cara pembagian dan penetapan rincian Dana Desa setiap Desa;
  4. laporan realisasi penyaluran Dana Desa tahun anggaran sebelumnya; dan
  5. laporan konsolidasi realisasi penyerapan dan capaian output Dana Desa tahun anggaran sebelumnya.
  6. tahap II berupa:
  7. laporan realisasi penyaluran Dana Desa tahap I; dan
  8. laporan konsolidasi realisasi penyerapan dan capaian output Dana Desa tahap I.

(2)      Peraturan Daerah mengenai APBD tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 berupa rekapitulasi penerimaan Peraturan Daerah mengenai APBD Tahun Anggaran berjalan yang disampaikan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan kepada Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa melalui Koordinator KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa.

(3)      Dokumen persyaratan penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2, angka 3, angka 4 dan huruf b disampaikan oleh Kepala Daerah kepada Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa.

(4)      Laporan realisasi penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, menunjukkan paling kurang sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari Dana Desa yang diterima di RKUD telah disalurkan ke RKD.

(5)      Laporan konsolidasi realisasi penyerapan dan capaian output sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, menunjukkan rata-rata realisasi penyerapan paling kurang sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dan rata-rata capaian output paling kurang sebesar 50% (lima puluh persen).

(6)      Capaian output sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dihitung berdasarkan rata-rata persentase laporan capaian output dari seluruh desa.

(7)      Penyusunan laporan konsolidasi realisasi penyerapan dan capaian output sebagaimana dimaksud pada        ayat (1) huruf a dan huruf b dilakukan sesuai dengan tabel referensi data bidang, kegiatan, uraian output, volume output, satuan output dan capaian output.

 

Pasal 101

(1)   Dokumen persyaratan penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 disampaikan dalam bentuk dokumen fisik (hardcopy) dan/atau dokumen elektronik (softcopy).

(2)   Dokumen elektronik (softcopy) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diolah melalui aplikasi yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Kementerian Keuangan.

(3)   Dalam hal aplikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum tersedia, dokumen elektronik (softcopy) disampaikan menggunakan aplikasi umum pengolah data.

 

Pasal 102

(1)      Penyaluran Dana Desa dari RKUD ke RKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 dilaksanakan oleh bupati/walikota.

(2)      Penyaluran Dana Desa dari RKUD ke RKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah bupati/walikota menerima dokumen persyaratan penyaluran, dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. tahap I berupa:
  2. peraturan Desa mengenai APBDesa; dan
  3. laporan realisasi penyerapan dan capaian output Dana Desa tahun anggaran sebelumnya,

dari Kepala Desa.

  1. tahap II berupa laporan realisasi penyerapan dan capaian output Dana Desa tahap I dari Kepala Desa.

(3)      Laporan realisasi penyerapan dan capaian output Dana Desa tahap I sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, menunjukkan rata-rata realisasi penyerapan paling kurang sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dan rata-rata capaian output menunjukkan paling kurang sebesar 50% (lima puluh persen).

(4)      Capaian output sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b dihitung berdasarkan rata-rata persentase capaian output dari seluruh kegiatan.

(5)      Penyusunan laporan realisasi penyerapan dan capaian output sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan tabel referensi data bidang, kegiatan, sifat kegiatan, uraian output, volume output, cara pengadaan, dan capaian output.

(6)      Dalam hal tabel referensi data sebagaimana dimaksud pada ayat (5) belum memenuhi kebutuhan input data, kepala desa dapat memutakhirkan tabel referensi data dengan mengacu pada peraturan yang diterbitkan oleh kementerian/lembaga terkait.

 

Pasal 103

(1)      Pelaksanaan penyaluran Dana Desa dari RKUD ke RKD dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)      Dalam hal terdapat Desa yang tidak terjangkau layanan perbankan yang menyebabkan tidak dapat dibuka RKD, bupati/walikota dapat mengatur lebih lanjut mengenai penyaluran Dana Desa dari RKUD ke Desa melalui peraturan bupati/walikota.

(3)      Bupati/walikota menyampaikan peraturan bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa.

 

Bagian Keempat

Kewajiban Penyampaian Konfirmasi Penerimaan Dana TKDD

 

Pasal 104

(1)    Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk wajib menyampaikan konfirmasi penerimaan TKDD melalui:

  1. LKT dan LRT; dan
  2. media elektronik,

kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melalui Kepala KPPN selaku Kuasa BUN.

(3)   Penyampaian LKT dan LRT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan ketentuan:

  1. LKT pada setiap triwulan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah triwulan berkenaan berakhir; dan
  2. LRT dalam 1 (satu) tahun anggaran bersamaan dengan penyampaian LKT triwulan IV.

(4)    Kepala KPPN selaku Kuasa BUN menyampaikan LKT dan LRT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beserta rekapitulasi LKT dan LRT seluruh Pemerintah Daerah dalam wilayah kerjanya kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan paling lama 2 (dua) hari kerja setelah diterima dari Kepala Daerah.

(5)    Berdasarkan LKT dan LRT yang disampaikan oleh Kepala KPPN selaku Kuasa BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan melakukan penelitian dan menyusun rekapitulasi LKT dan LRT untuk disampaikan kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah diterima dari Kepala KPPN selaku Kuasa BUN.

(6)    Penyampaian konfirmasi penerimaan TKDD melalui media elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menggunakan aplikasi yang tersedia pada portal Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.

 

Pasal 105

(1)      Dalam hal Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk tidak menyampaikan konfirmasi penerimaan TKDD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1), Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan melakukan langkah-langkah koordinasi dengan Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk dalam upaya pemenuhan kewajiban penyampaian konfirmasi penerimaan TKDD.

(2)      Dalam hal Kepala Daerah tidak menyampaikan konfirmasi penerimaan TKDD melalui LKT dan LRT sampai dengan 10 (sepuluh) hari kerja setelah dilakukannya koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan menyampaikan laporan hasil koordinasi kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.

 

Bagian Kelima

Pemotongan, Penundaan, Penghentian dan/atau

Pembayaran Kembali TKDD

 

Paragraf 1

Pemotongan, Penundaan, Penghentian dan/atau

Pembayaran Kembali Transfer ke Daerah

 

Pasal 106

(1)      KPA BUN Transfer Dana Perimbangan dan/atau                KPA BUN Transfer Non Dana Perimbangan dapat melakukan pemotongan, penundaan, dan/atau penghentian penyaluran Transfer Ke Daerah untuk suatu Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)      Pemotongan, penundaan dan/atau penghentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah mendapat surat permintaan dari instansi/unit yang berwenang.

(3)      Surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh pimpinan instansi/unit yang berwenang kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.

 

 

 

Pasal 107

(1)      Pemotongan penyaluran Transfer ke Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dapat dilakukan dalam hal terdapat:

  1. kelebihan pembayaran atau kelebihan penyaluran Transfer ke Daerah, termasuk DBH CHT yang tidak digunakan sesuai peruntukannya dan/atau tidak dianggarkan kembali pada tahun anggaran berikutnya;
  2. tunggakan pembayaran pinjaman daerah;
  3. tidak dilaksanakannya hibah daerah induk kepada daerah otonomi baru; dan/atau
  4. daerah yang tidak menganggarkan Alokasi Dana Desa (ADD).

(2)      Selain pemotongan sebagaimana dimaksud pada        ayat (1), KPA BUN Transfer Dana Perimbangan dan/atau KPA BUN Transfer Non Dana Perimbangan dapat melakukan pemotongan penyaluran Transfer Ke Daerahkarena adanya pembebanan keuangan negara atas biaya yang timbul akibat adanya tuntutan hukum dan/atau putusan peradilan atas kasus/sengketa hukum yang melibatkan Pemerintah Daerah.

(3)      Penundaan penyaluran Transfer ke Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dapat dilakukan dalam hal perlu dilakukan kebijakan pengendalian Transfer ke Daerah oleh Pemerintah, dan/atau pemerintah daerah tidak memenuhi ketentuan:

  1. penyampaian Peraturan Daerah mengenai APBD;
  2. penyampaian laporan realisasi APBD semester I;
  3. penyampaian laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD;
  4. penyampaian perkiraan belanja operasi dan belanja modal bulanan;
  5. penyampaian laporan posisi kas bulanan;
  6. penyampaian laporan realisasi anggaran bulanan;
  7. penyampaian konfirmasi penerimaan melalui LKT dan LRT;
  8. penyampaian persyaratan penyaluran DBH CHT;
  9. penyampaian laporan pemanfaatan sementara dan penganggaran kembali sisa dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa yang sudah ditentukan penggunaannya;
  10. penyampaian rekapitulasi pemungutan dan penyetoran pajak penghasilan dan pajak lainnya;
  11. penyampaian data informasi keuangan daerah dan non keuangan daerah melalui Sistem Informasi Keuangan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan;
  12. penyampaian surat komitmen pengalokasian Alokasi Dana Desa (ADD);
  13. penyampaian rencana defisit APBD;
  14. penyampaian laporan posisi kumulatif pinjaman daerah; dan/atau
  15. penyaluran Dana Desa.

(4)      Penghentian penyaluran Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dapat dilakukan dalam hal:

  1. daerah penerima DBH CHT telah 2 (dua) kali diberikan sanksi berupa penundaan penyaluran DBH CHT dalam tahun anggaran berjalan;
  2. menteri/pimpinan lembaga terkait mengajukan permohonan penghentian penyaluran DAK Fisik pada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan;
  3. Kepala Daerah mengajukan permohonan penghentian penyaluran DAK Fisik kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, disertai dengan surat persetujuan dari pimpinan kementerian negara/lembaga terkait; dan/atau

 

  1. terdapat kelebihan alokasi DAK Nonfisik kepada Daerah akibat adanya lebih salur DAK Nonfisik pada tahun anggaran berjalan berdasarkan rekomendasi menteri atau pimpinan lembaga teknis.

(5)      Pemotongan, penundaan dan/atau penghentian penyaluran Transfer ke Daerah dilaksanakan dengan mempertimbangkan besarnya permintaan pemotongan, pagu alokasi, lebih bayar atau lebih salur Transfer ke Daerah dan Dana Desa, dan kapasitas fiskal daerah yang bersangkutan.

(6)      Dalam hal pemotongan dan penundaan penyaluran Transfer ke Daerah sebagaimana dimaksud pada            ayat (1) dan ayat (3) diusulkan dalam waktu yang bersamaan dan untuk jenis transfer yang sama, KPA BUN Transfer Dana Perimbangan dapat menentukan prioritas pemotongan dan penundaan penyaluran Transfer ke Daerah.

(7)      Dalam hal penghentian penyaluran DAK Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dilakukan sampai dengan tahun anggaran berakhir, maka DAK Fisik yang dihentikan penyalurannya tidak dapat disalurkan pada tahun anggaran berikutnya.

(8)      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemotongan, penundaan, dan/atau penghentian penyaluran Transfer ke Daerah dapat diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.

 

Pasal 108

(1)      Penyaluran kembali Transfer ke Daerah yang ditunda dan/atau dihentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (3) dan ayat (4) dilakukan setelah:

  1. dicabutnya sanksi penundaan;
  2. dipenuhinya kewajiban daerah dalam tahun anggaran berjalan; atau
  3. batas waktu pengenaan sanksi penundaan berakhir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)      Penyaluran kembali DBH CHT yang ditunda dilakukan bersamaan dengan penyaluran triwulan berikutnya setelah seluruh persyaratan setiap triwulan terpenuhi.

 

Paragraf 2

Pemotongan, Penundaan, Penghentian dan/atau

Pembayaran Kembali Dana Desa

 

Pasal 109

(1)      Dalam hal bupati/walikota tidak menyampaikan persyaratan penyaluran Dana Desa  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1) dan Pasal 101 sampai dengan berakhirnya tahun anggaran, Dana Desa tidak disalurkan dan menjadi sisa Dana Desa di RKUN.

(2)      Sisa Dana Desa di RKUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat disalurkan kembali pada tahun anggaran berikutnya.

 

Bagian Keenam

Penyaluran pada Akhir Tahun Anggaran

 

Pasal 110

(1)    KPA BUN Transfer Dana Perimbangan, KPA BUN Transfer Non Dana Perimbangan, dan KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa dapat menyusun pedoman pelaksanaan TKDD pada akhir tahun anggaran.

(2)    Pedoman pelaksanaan TKDD pada akhir tahun anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain menginformasikan mengenai tata cara penyampaian dan penerimaan laporan realisasi penggunaan dana dari daerah dan batas akhir penyaluran TKDD.

(3)    Pedoman pelaksanaan TKDD pada akhir tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat akhir bulan November.

BAB VI

PENATAUSAHAAN, PERTANGGUNGJAWABAN, DAN PELAPORAN

 

Bagian Kesatu

Penatausahaan dan Pertanggungjawaban TKDD

 

Pasal 111

(1)      Dalam rangka pertanggungjawaban penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa, KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (6) huruf e kepada Koordinator KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.

(2)      Koordinator KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan konsolidasi laporan sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 67 ayat (10) huruf b kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan setiap bulan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.

 

Pasal 112

(1)      Dalam rangka pertanggungjawaban pengelolaan             BA BUN TKDD, Pemimpin PPA Pengelolaan BUN menyusun Laporan Keuangan TKDD sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai sistem akuntansi dan pelaporan keuangan TKDD.

(2)      Laporan Keuangan TKDD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh Direktorat Pembiayaan dan Transfer Non Dana Perimbangan selaku Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pembantu Bendahara Umum Negara Pengelolaan TKDD menggunakan sistem aplikasi terintegrasi.

(3)      Dalam rangka penatausahaan, akuntansi, dan pertanggungjawaban atas pelaksanaan anggaran, KPA BUN Transfer Dana Perimbangan, KPA BUN Transfer Non Dana Perimbangan, dan KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa menyusun Laporan Keuangan Tingkat KPA dan disampaikan kepada Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKDD.

(4)      Untuk menyusun laporan keuangan tingkat KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (3), KPA BUN Transfer Dana Perimbangan dan KPA BUN Transfer Non Dana Perimbangan dapat menunjuk dan menugaskan unit organisasi pada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi terkait dengan penyusunan laporan keuangan.

(5)      Unit organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) melaksanakan tugas pokok dan fungsi sebagai Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transfer Dana Perimbangan dan Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transfer Non Dana Perimbangan.

(6)      Dalam rangka penyusunan Laporan Keuangan TKDD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa menyusun dan menyampaikan laporan keuangan tingkat KPA dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. laporan keuangan tingkat KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa periode semesteran dan tahunan disusun setelah dilakukan rekonsiliasi data realisasi anggaran transfer dengan KPPN selaku Kuasa BUN dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pedoman rekonsiliasi dalam rangka penyusunan laporan keuangan;
  2. laporan keuangan tingkat KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa periode semesteran dan tahunan disampaikan secara berjenjang kepada PPA BUN Pengelolaan TKDD melalui Koordinator KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa sesuai dengan jadwal penyampaian laporan keuangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penyusunan dan penyampaian laporan keuangan BUN; dan
  3. ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan dan penyampaian laporan keuangan tingkat KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa periode semesteran dan tahunan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan.

(7)      Dalam rangka penyusunan Laporan Keuangan TKDD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Koordinator KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa menyusun dan menyampaikan laporan keuangan tingkat Koordinator KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. laporan keuangan tingkat Koordinator KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa periode semesteran dan tahunan disusun setelah dilakukan penyampaian data elektronik akrual transaksi DAK Fisik dan Dana Desa selain transaksi realisasi anggaran transfer ke dalam sistem aplikasi terintegrasi;
  2. laporan keuangan tingkat Koordinator KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa periode semesteran dan tahunan disampaikan kepada PPA BUN Pengelolaan TKDD sesuai dengan jadwal penyampaian laporan keuangan yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan dengan memperhatikan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penyusunan dan penyampaian laporan keuangan BUN;
  3. ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian data elektronik akrual transaksi DAK Fisik dan Dana Desa selain transaksi realisasi anggaran transfer, penyusunan dan penyampaian laporan keuangan tingkat Koordinator KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa periode semesteran dan tahunan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan.

Pasal 113

Dalam rangka sinkronisasi penyajian laporan realisasi anggaran TKDD, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan Koordinator KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa dapat melakukan rekonsiliasi data realisasi atas penyaluran TKDD dengan KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa dan Pemerintah Daerah.

 

Bagian Kedua

Pelaporan Dana Desa

 

Pasal 114

(1)      Kepala Desa menyampaikan laporan realisasi penyerapan dan capaian output Dana Desa setiap tahap penyaluran kepada bupati/walikota.

(2)      Laporan realisasi penyerapan dan capaian output Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

  1. laporan realisasi penyerapan Dana Desa dan capaian output tahun anggaran sebelumnya; dan
  2. laporan realisasi penyerapan Dana Desa dan capaian output tahap I.

(3)      Laporan realisasi penyerapan dan capaian output Dana Desa tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan paling lambat tanggal 7 Januari tahun anggaran berjalan.

(4)      Laporan realisasi penyerapan dan capaian output Dana Desa tahap I sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disampaikan paling lambat tanggal 7 Juli tahun anggaran berjalan.

(5)      Dalam hal terdapat pemutakhiran capaian output setelah batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), Kepala Desa dapat menyampaikannya pemutakhiran capaian output kepada bupati/walikota untuk selanjutnya dilakukan pemutakhiran data pada aplikasi.

 

(6)      Bupati/walikota dapat mendorong proses percepatan penyampaian laporan realisasi penyerapan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan berkoordinasi dengan Kepala Desa.

 

Pasal 115

(1)      Bupati/walikota menyampaikan laporan realisasi penyaluran dan laporan konsolidasi realisasi penyerapan dan capaian output Dana Desa kepada Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa dengan tembusan kepada Gubernur, Menteri Dalam Negeri, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

(2)      Laporan realisasi penyaluran dan laporan konsolidasi realisasi penyerapan dan capaian output Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

  1. Laporan realisasi penyaluran dan laporan konsolidasi realisasi penyerapan dan capaian output Dana Desa tahun anggaran sebelumnya; dan
  2. Laporan realisasi penyaluran dan laporan konsolidasi realisasi penyerapan dan capaian output Dana Desa tahap I.

(3)      Laporan realisasi penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari sejak Dana Desa diterima di RKUD.

(4)      Laporan konsolidasi realisasi penyerapan dan capaian output Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan paling lambat tanggal 14 Januari tahun anggaran berjalan.

(5)      Laporan konsolidasi realisasi penyerapan dan capaian output Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disampaikan paling lambat tanggal 14 Juli tahun anggaran berjalan.

(6)      Dalam hal terdapat perbaikan laporan setelah batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa dapat meminta bupati/walikota untuk melakukan percepatan penyampaian perbaikan laporan dimaksud untuk selanjutnya dilakukan pemutakhiran data pada aplikasi.

 

BAB VII

PEDOMAN PENGGUNAAN TKDD

 

Pasal 116

(1)      Kepala Daerah bertanggung jawab secara formal dan material atas penggunaan TKDD.

(2)      Transfer ke Daerah digunakan untuk mendanai urusan yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota yang terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)      Penggunaan Transfer ke Daerah oleh Pemerintah Daerah dilaksanakan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

 

Pasal 117

Penggunaan Transfer ke Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2), terdiri atas:

  1. penggunaan yang bersifat umum; dan
  2. penggunaan yang sudah ditentukan.

 

Bagian Kesatu

Transfer ke Daerah yang Penggunaannya Bersifat Umum

 

Pasal 118

Transfer ke Daerah yang penggunaannya bersifat umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 huruf a, terdiri atas:

  1. DBH PBB;
  2. DBH PPh Pasal 21, Pasal 25, dan Pasal 29;
  3. DBH SDA Minyak Bumi 15,5% (lima belas koma lima persen);
  4. DBH SDA Gas Bumi 30,5% (tiga puluh koma lima persen);
  5. DBH SDA Pengusahaan Panas Bumi;
  6. DBH SDA Mineral dan Batubara;
  7. DBH SDA Perikanan;
  8. DBH SDA Kehutanan Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH);
  9. DAU; dan
  10. DID.

 

Pasal 119

(1)    Transfer ke Daerah yang penggunaannya bersifat umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 huruf a, diprioritaskan untuk mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan wajib baik yang berkaitan dengan pelayanan dasar maupun yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar.

(2)    Jenis urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)    Urusan pemerintahan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menentukan terlebih dahulu indikator kinerja serta capaian kinerja dari setiap program dan kegiatan.

(4)    Urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan Standar Pelayanan Minimal.

 

Pasal 120

(1)    Transfer ke Daerah yang penggunaannya bersifat umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 huruf a sampai dengan huruf i, paling sedikit sebesar 10% (sepuluh persen) dianggarkan untuk Alokasi Dana Desa.

(2)    Besarnya DBH yang dialokasikan sebagai Alokasi Dana Desa dihitung berdasarkan dokumen penganggaran dan/atau dokumen perubahan anggaran penerimaan DBH yang diterima di RKUD.

 

Pasal 121

(1)      Transfer ke Daerah yang penggunaannya bersifat umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 huruf a sampai dengan huruf i setelah dikurangi Alokasi Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 120 ayat (1)dialokasikan untuk belanja Infrastruktur Daerah.

(2)      Belanja Infrastruktur Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit sebesar yang ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai APBN.

(3)      Belanja Infrastruktur Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan belanja yang langsung terkait dengan percepatan pembangunan fasilitas pelayanan publik dan ekonomi dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan penyediaan pelayanan publik antardaerah.

(4)      Besaran belanja Infrastruktur Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung dari total belanja modal dan belanja pemeliharaan setelah dikurangi belanja modal dan pemeliharaan untuk aparatur seperti pembangunan dan/atau pemeliharaan gedung pemerintahan yang mempunyai fungsi utama pelayanan administratif dan kendaraan dinas.

(5)      Pembatasan alokasi belanja Transfer ke Daerah yang penggunaannya bersifat umum untuk Infrastruktur Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) menjadi dasar evaluasi Rancangan Peraturan Daerah mengenai APBD provinsi oleh Menteri Dalam Negeri dan Rancangan Peraturan Daerah mengenai APBD kabupaten/kota oleh gubernur.

 

 

Pasal 122

(1)      Kepala Daerah wajib menyampaikan laporan belanja Infrastruktur Daerah yang bersumber dari Transfer ke Daerah yang penggunaannya bersifat umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat tanggal 31 Januari tahun anggaran berkenaan.

(2)      Penyampaian laporan belanja Infrastruktur Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi syarat penyaluran DAU bulan Maret.

 

Pasal 123

(1)      Dalam hal Transfer ke Daerah yang penggunaannya bersifat umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 huruf a digunakan untuk pemberian hibah dan/atau bantuan sosial kepada pihak lain, diutamakan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas pelayanan publik.

(2)      Pemberian hibah dan/atau bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Bagian Kedua

Transfer ke Daerah yang Penggunaannya Sudah Ditentukan

 

Pasal 124

Transfer ke Daerah yang penggunaannya sudah ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 huruf b, terdiri atas:

  1. DBH CHT;
  2. DBH SDA Kehutanan Dana Reboisasi;
  3. DBH SDA Tambahan Minyak Bumi dan Gas Bumi untuk dalam rangka Otonomi Khusus di Provinsi Aceh;
  4. DBH SDA Minyak Bumi dan Gas Bumi dalam rangka Otonomi Khusus di Provinsi Papua Barat;
  5. Dana Transfer Khusus;
  6. Dana Otonomi Khusus;
  7. Dana Tambahan Infrastruktur dalam rangka Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat; dan
  8. Dana Keistimewaan DIY.

 

Pasal 125

Pemerintah Daerah mencantumkan sumber pendanaan atas setiap program/kegiatan yang didanai dari Transfer ke Daerah yang penggunaannya sudah ditentukan dalam APBD, Perubahan APBD, dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD.

 

Pasal 126

Transfer ke Daerah yang penggunaannya sudah ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Bagian Ketiga

Penggunaan Dana Desa

 

Pasal 127

(1)      Penggunaan Dana Desa diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, peningkatan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan dan dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Desa.

(2)      Penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada prioritas penggunaan Dana Desa yang ditetapkan oleh Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dan dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Desa.

(3)      Prioritas penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilengkapi dengan pedoman umum pelaksanaan penggunaan Dana Desa.

 

 

 

Pasal 128

(1)      Pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dari Dana Desa berpedoman pada pedoman teknis yang ditetapkan oleh bupati/walikota mengenai kegiatan yang dibiayai dari Dana Desa.

(2)      Pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dari Dana Desa diutamakan dilakukan secara swakelola dengan menggunakan sumber daya/bahan baku lokal, dan diupayakan dengan lebih banyak menyerap tenaga kerja dari masyarakat Desa setempat.

 

Pasal 129

(1)      Dana Desa dapat digunakan untuk membiayai kegiatan yang tidak termasuk dalam prioritas penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (2) setelah mendapat persetujuan bupati/walikota.

(2)      Dalam memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bupati/walikota memastikan pengalokasian Dana Desa untuk kegiatan yang menjadi prioritas telah terpenuhi dan/atau kegiatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat telah terpenuhi.

(3)      Persetujuan bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pada saat evaluasi Rancangan Peraturan Desa mengenai APBDesa.

 

Pasal 130

(1)      Kepala Desa bertanggungjawab atas penggunaan Dana Desa.

(2)      Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat melakukan pendampingan atas penggunaan Dana Desa.

(3)      Tata cara pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh menteri teknis terkait.

 

 

 

Bagian Keempat

Penggunaan Sisa Transfer ke Daerah dan Dana Desa

 

Pasal 131

(1)      Sisa DBH CHT tahun anggaran sebelumnya digunakan untuk mendanai kegiatan DBH CHT sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)      Sisa DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggarkan dalam APBD tahun anggaran berikutnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 132

(1)      Dalam hal terdapat sisa DAK dan/atau DAK Fisik sampai dengan Tahun Anggaran 2016 pada bidang/subbidang yang output kegiatannya sudah tercapai, maka sisa DAK dan/atau DAK Fisik tersebut dapat digunakan dengan ketentuan:

  1. untuk mendanai kegiatan DAK Fisik pada bidang/subbidang yang sama; dan/atau
  2. untuk mendanai kegiatan DAK Fisik pada bidang/subbidang tertentu sesuai kebutuhan daerah,

dengan menggunakan petunjuk teknis tahun anggaran berjalan.

(2)      Dalam hal terdapat sisa DAK dan/atau DAK Fisik pada bidang/subbidang yang output kegiatannya belum tercapai, sisa DAK dan/atau DAK Fisik tersebut dianggarkan kembali dalam APBD tahun anggaran berikutnya dengan ketentuan:

  1. untuk sisa DAK Fisik 1 (satu) tahun anggaran sebelumnya, digunakan dalam rangka pencapaian output dengan menggunakan petunjuk teknis pada saat output kegiatannya belum tercapai; atau
  2. untuk sisa DAK dan/atau DAK Fisik lebih dari 1 (satu) tahun anggaran sebelumnya, digunakan untuk mendanai kegiatan DAK Fisik pada bidang/subbidang tertentu sesuai kebutuhan daerah dengan menggunakan petunjuk teknis tahun anggaran berjalan.

(3)      Kepala Daerah menyampaikan laporan penggunaan sisa DAK dan/atau DAK Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa sesuai dengan wilayah kerjanya setelah berakhirnya pelaksanaan tahun anggaran.

(4)      Laporan penggunaan sisa DAK Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilengkapi dengan Rekapitulasi SP2D atas penggunaan sisa DAK Fisik dalam bentuk dokumen elektronik.

(5)      Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa meneruskan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melaui Koordinator KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa.

 

Pasal 133

(1)      Sisa Dana BOS Tahun Anggaran 2011 pada RKUD kabupaten/kota wajib disetor oleh Daerah ke RKUN melalui Bank/Pos Persepsi dengan cara penyetoran penerimaan negara bukan pajak secara elektronik melalui Sistem Informasi Penerimaan Negara Bukan Pajak Online (SIMPONI) paling lambat bulan Juli Tahun Anggaran 2017.

(2)      Sisa Dana BOS Tahun Anggaran 2011 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sisa Dana BOS yang ditetapkan berdasarkan dokumen sumber Laporan Hasil Monitoring Sisa Dana BOS Tahun Anggaran 2011 pada Pemerintah Daerah penerima alokasi Dana BOS Tahun Anggaran 2011 yang diperoleh dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

(3)      Rincian Sisa Dana BOS Tahun Anggaran 2011 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.

(4)      Tata cara penyetoran Sisa Dana BOS Tahun Anggaran 2011 ke Bank/Pos Persepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara penyetoran penerimaan negara.

(5)      Ketentuan penyetoran melalui Sistem Informasi Penerimaan Negara Bukan Pajak Online (SIMPONI)  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi Daerah yang belum menyetorkan sisa Dana BOS Tahun Anggaran2011 melalui Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP).

 

Pasal 134

(1)      Kepala Daerah wajib menyampaikan bukti penyetoran pengembalian sisa Dana BOS Tahun Anggaran 2011 kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat bulan Agustus Tahun Anggaran 2017.

(2)      Dalam hal Daerah belum mengembalikan sebagian atau seluruh Sisa Dana BOS Tahun Anggaran 2011 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (1) sampai dengan bulan Juli tahun 2017, maka sisa Dana BOS Tahun Anggaran 2011 tersebut diperhitungkan dengan penyaluran DAU dan/atau DBH Tahun Anggaran 2017.

 

Pasal 135

(1)       Sisa Dana Peningkatan Kapasitas Ketenagakerjaan pada Tahun Anggaran 2016 dapat digunakan untuk mendanai kegiatan peningkatan kapasitas ketenagakerjaan yang sama sesuai kebutuhan daerah dengan menggunakan petunjuk teknis Tahun  Anggaran 2016.

(2)       Lebih salur Dana Peningkatan Kapasitas Ketenagakerjaan pada Tahun Anggaran 2016 yang disebabkan karena adanya perubahan alokasi dalam Perubahan APBN Tahun Anggaran 2016, diperhitungkan pada penyaluran DAU dan/atau DBH tahun anggaran berikutnya.

(3)       Penghitungan lebih salur Dana Peningkatan Kapasitas Ketenagakerjaan pada Tahun Anggaran 2016 ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan berdasarkan Berita Acara Rekonsiliasi antara Pemerintah Daerah dengan Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.

 

Pasal 136

Sisa Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi pada Tahun Anggaran 2016, digunakan untuk mendanai kegiatan yang sama sesuai kebutuhan daerah dengan berpedoman Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.07/2016 tentang Pedoman Umum dan Rincian Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi Menurut Provinsi/Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2016.

 

Pasal 137

Sisa Dana Desa yang ada pada RKUD dianggarkan kembali untuk disalurkan ke desa pada tahun anggaran berikutnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 138

(1)      Dalam hal Daerah mengalami kesulitan likuiditas sebagai akibat dari realisasi penerimaan Daerah tidak mencukupi, Pemerintah Daerah dapat memanfaatkan sisa dana Transfer ke Daerah yang sudah ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam              Pasal 124 untuk mendanai kegiatan yang sudah ditetapkan dalam APBD.

(2)      Sisa dana Transfer ke Daerah yang sudah ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan akumulasi sisa dari tahun-tahun anggaran sebelumnya.

(3)      Pemanfaatan sisa dana Transfer ke Daerah yang sudah ditentukan penggunaanya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hanya dapat dilakukan untuk memenuhi:

  1. kewajiban pembayaran atas kegiatan yang sudah dikontrakkan dan selesai dilaksanakan;
  2. kebutuhan belanja daerah pada saat realisasi penerimaan daerah tidak mencukupi untuk mendanai kegiatan yang tidak dapat ditunda pembayarannya; dan/atau
  3. kebutuhan belanja untuk kegiatan yang menjadi prioritas daerah yang telah ditetapkan dalam APBD.

(4)      Besaran pemanfaatan sisa dana Transfer ke Daerah yang sudah ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling tinggi sebesar kebutuhan belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(5)      Pemanfaatan sisa dana Transfer ke Daerah yang sudah ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggarkan kembali sesuai dengan peruntukannya dalam APBD tahun anggaran berikutnya sebagai prioritas pertama.

 

Pasal 139

Rincian jenis dan besaran atas pemanfaatan sisa dana Transfer ke Daerah yang sudah ditentukan penggunaannya dicatatkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah tahun anggaran berkenaan.

 

Pasal 140

(1)      Laporan pemanfaatan sisa dana Transfer ke Daerah yang sudah ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 disampaikan oleh Kepala Daerah kepada Menteri Keuangan c.q Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dan Menteri Dalam Negeri c.q Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah.

(2)      Laporan pemanfaatan sisa dana Transfer ke Daerah yang sudah ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat:

  1. latar belakang penggunaan sisa dana transfer yang sudah ditentukan penggunaannya.
  2. jenis dan jumlah sisa; dan
  3. rincian pemanfaatan dan besarannya.

(3)      Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat bulan Maret tahun anggaran berikutnya.

 

BAB VIII

PEMANTAUAN DAN EVALUASI

 

Bagian Kesatu

Pemantauan dan Evaluasi Transfer Ke Daerah

 

Pasal 141

(1)      Pemerintah melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala terhadap kinerja keuangan Daerah.

(2)      Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui penilaian kinerja berdasarkan indikator kesehatan keuangan daerah, hasil capaian dari program/kegiatan, pengelolaan keuangan daerah, dan kesejahteraan masyarakat.

(3)      Tata cara penilaian kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai pemeringkatan kesehatan fiskal dan pengelolaan keuangan daerah.

 

Pasal 142

(1)      Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melaksanakan pemantauan dan evaluasi atas penggunaan Transfer ke Daerah yang penggunaannya sudah ditentukan.

(2)      Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan data laporan yang telah disampaikan oleh Daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundangan-undangan.

 

(3)      Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan melakukan pemantauan dan evaluasi atas kinerja pelaksanaan DAK Fisik dan Dana Desa menggunakan data yang bersumber dari KPPN berdasarkan laporan yang disampaikan oleh Daerah.

(4)      Pemantauan dan evaluasi Transfer ke Daerah yang penggunaannya sudah ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai pemantauan dan evaluasi transfer ke daerah yang sudah ditentukan penggunaannya.

 

Bagian Kedua

Pemantauan dan Evaluasi Dana Desa

 

Pemantauan dan Evaluasi oleh Kementerian Keuangan

 

Pasal 143

(1)      Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan/atau KPPN bersama dengan Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi melakukan pemantauan atas pengalokasian, penyaluran, dan penggunaan Dana Desa secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.

(2)      Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:

  1. penerbitan peraturan bupati/walikota mengenai tata cara pembagian dan penetapan besaran Dana Desa;
  2. penyaluran Dana Desa dari RKUD ke RKD;
  3. penyampaian laporan realisasi penyaluran dan laporan konsolidasi penyerapan Dana Desa;
  4. sisa Dana Desa di RKUD; dan
  5. pencapaian output Dana Desa.

 

(3)      Dalam hal terdapat rekomendasi yang disampaikan oleh aparat pengawas fungsional di daerah, Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa melakukan pemantauan untuk mempercepat proses penyaluran Dana Desa.

 

Pasal 144

(1)      Pemantauan terhadap penerbitan peraturan bupati/walikota mengenai tata cara pembagian dan penetapan besaran Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 143 ayat (2) huruf a dilakukan untuk menghindari penundaan penyaluran Dana Desa setiap Desa untuk tahap I.

(2)      Dalam hal terdapat keterlambatan penetapan peraturan bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa meminta bupati/walikota untuk melakukan percepatan penetapan peraturan dimaksud.

(3)      Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa dapat berkoordinasi dengan bupati/walikota dalam rangka percepatan penetapan peraturan bupati/walikota mengenai tata cara pembagian dan penetapan Dana Desa setiap Desa.

 

Pasal 145

(1)      Pemantauan terhadap penyaluran Dana Desa dari RKUD ke RKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b dilaksanakan untuk memastikan penyaluran telah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)      Dalam hal berdasarkan hasil pemantauan terdapat penyaluran Dana Desa dari RKUD ke RKD tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa dapat memberikan teguran kepada bupati/walikota.

(3)      Ketidaksesuaian penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat berupa:

  1. keterlambatan penyaluran; dan/atau
  2. tidak tepat jumlah penyaluran.

(4)      Dana Desa yang terlambat disalurkan dan/atau tidak tepat jumlah penyalurannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus segera disalurkan ke RKD oleh bupati/walikota paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima teguran sebagaimana dimaksud pada             ayat (2).

 

Pasal 146

(1)      Pemantauan terhadap penyampaian laporan realisasi penyaluran dan laporan konsolidasi realisasi penyerapan Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (2) huruf c dilakukan untuk menghindari penundaan penyaluran Dana Desa tahun anggaran berikutnya.

(2)      Dalam hal bupati/walikota terlambat dan/atau tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa dapat meminta kepada Bupati/Walikota untuk melakukan percepatan penyampaian laporan dimaksud.

(3)      Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa dapat berkoordinasi dengan bupati/walikota dalam rangka proses percepatan penyampaian laporan realisasi penyaluran dan laporan konsolidasi realisasi penyerapan Dana Desa.

 

Pasal 147

(1)      Pemantauan sisa Dana Desa di RKUD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (2) huruf d dilakukan untuk mengetahui besaran Dana Desa yang belum disalurkan dari RKUD ke RKD tahun anggaran sebelumnya.

(2)      Dalam hal sisa Dana Desa di RKUD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena bupati/walikota belum menerima laporan realisasi penyerapan Dana Desa tahap I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (2) huruf b, Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa meminta kepada bupati/walikota untuk memfasilitasi percepatan penyampaian laporan dimaksud.

(3)      Dalam hal sisa Dana Desa di RKUD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena perbedaan jumlah Desa, bupati/walikota menyampaikan pemberitahuan kelebihan salur Dana Desa dari RKUN ke RKUD kepada Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa dengan tembusan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.

Pasal 148

Pemantauan capaian output sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (2) huruf e dilakukan untuk mengetahui capaian perkembangan kegiatan yang dibiayai Dana Desa.

 

Pasal 149

Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa melakukan evaluasi, terhadap:

  1. penghitungan pembagian besaran Dana Desa setiap Desa oleh kabupaten/kota; dan
  2. laporan realisasi penyaluran dan laporan konsolidasi realisasi penyerapan dan capaian output Dana Desa.

 

Pasal 150

(1)      Evaluasi terhadap penghitungan pembagian besaran Dana Desa setiap Desa oleh kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 huruf a dilakukan untuk memastikan pembagian Dana Desa setiap Desa dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)      Dalam hal terdapat ketidaksesuaian penghitungan pembagian dan penetapan rincian Dana Desa setiap Desa oleh kabupaten/kota, Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa meminta bupati/walikota untuk melakukan perubahan peraturan bupati/walikota mengenai tata cara pembagian dan penetapan rincian Dana Desa setiap Desa.

(3)      Perubahan peraturan bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa.

(4)      Perubahan peraturan bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi persyaratan penyaluran Dana Desa tahap berikutnya.

 

Pasal 151

(1)      Evaluasi terhadap laporan realisasi penyaluran dan laporan konsolidasi realisasi penyerapan dan capaian output Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam            Pasal 149 huruf b dilakukan untuk mengetahui besaran realisasi penyaluran, penyerapan dan capaian output Dana Desa.

(2)      Dalam hal realisasi penyaluran Dana Desa kurang dari 90% (sembilan puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (4) dan realisasi penyerapan Dana Desa kurang dari 75% (tujuh puluh lima persen) serta capaian output kurang dari 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (5), Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa dapat meminta konfirmasi dan klarifikasi kepada bupati/walikota.

 

Bagian Ketiga

Pemantauan dan Evaluasi oleh Bupati/Walikota

 

Pasal 152

Bupati/Walikota melakukan pemantauan dan evaluasi atas sisa Dana Desa di RKD.

 

Pasal 153

(1)      Dalam hal berdasarkan pemantauan dan evaluasi atas sisa Dana Desa di RKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 ditemukan sisa Dana Desa di RKD lebih dari 30% (tiga puluh persen), bupati/walikota:

  1. meminta penjelasan kepada Kepala Desa mengenai sisa Dana Desa di RKD tersebut; dan/atau
  2. meminta aparat pengawas fungsional daerah untuk melakukan pemeriksaan.

(2)      Sisa Dana Desa di RKD lebih dari 30% (tiga puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dari Dana Desa yang diterima Desa pada tahun anggaran berkenaan ditambah dengan sisa Dana Desa tahun anggaran sebelumnya.

(3)      Kepala Desa wajib menganggarkan kembali sisa Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam rancangan APBDesa tahun anggaran berikutnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 154

(1)      Bupati/walikota menunda penyaluran Dana Desa, dalam hal:

  1. bupati/walikota belum menerima dokumen persyaratan penyaluran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (2);
  2. terdapat sisa Dana Desa di RKD tahun anggaran sebelumnya lebih dari 30% (tiga puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153; dan/atau
  3. terdapat rekomendasi yang disampaikan oleh aparat pengawas fungsional di daerah.

(2)      Penundaan penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan terhadap penyaluran Dana Desa tahap I tahun anggaran berjalan sebesar sisa Dana Desa di RKD tahun anggaran sebelumnya.

(3)      Dalam hal sisa Dana Desa di RKD tahun anggaran sebelumnya lebih besar dari jumlah Dana Desa yang akan disalurkan pada tahap I, penyaluran Dana Desa tahap I tidak dilakukan.

(4)      Dalam hal sampai dengan bulan Agustus tahun anggaran berjalan sisa Dana Desa di RKD tahun anggaran sebelumnya masih lebih besar dari 30% (tiga puluh persen), penyaluran Dana Desa yang ditunda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat disalurkan dan menjadi sisa Dana Desa di RKUD.

(5)      Bupati/walikota melaporkan Dana Desa yang tidak disalurkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) kepada Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa.

(6)      Dana Desa yang tidak disalurkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat disalurkan kembali pada tahun anggaran berikutnya.

(7)      Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disampaikan oleh aparat pengawas fungsional di daerah dalam hal terdapat potensi atau telah terjadi penyimpangan penyaluran dan/atau penggunaan Dana Desa.

(8)      Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disampaikan kepada bupati dengan tembusan kepada Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa sebelum batas waktu tahapan penyaluran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99.

 

 

 

 

 

Pasal 155

(1)      Bupati/walikota menyalurkan kembali Dana Desa yang ditunda dalam hal:

  1. dokumen persyaratan penyaluran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (1) huruf a telah diterima;
  2. sisa Dana Desa di RKD tahun anggaran sebelumnya kurang dari atau sama dengan 30%; dan
  3. terdapat usulan dari aparat pengawas fungsional daerah.

(2)      Dalam hal penundaan penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (1)         huruf a dan huruf c berlangsung sampai dengan berakhirnya tahun anggaran, Dana Desa tidak dapat disalurkan lagi ke RKD dan menjadi sisa Dana Desa di RKUD.

(3)      Bupati/walikota melaporkan sisa Dana Desa di RKUD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa.

(4)      Bupati/walikota memberitahukan kepada Kepala Desa yang bersangkutan mengenai Dana Desa yang ditunda penyalurannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lambat akhir bulan November tahun anggaran berjalan dan agar dianggarkan kembali dalam rancangan APBDesa tahun anggaran berikutnya.

(5)      Bupati/walikota menganggarkan kembali sisa Dana Desa di RKUD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam rancangan APBD tahun anggaran berikutnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(6)      Dalam hal sisa Dana Desa di RKUD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum disalurkan dari RKUD ke RKD sampai dengan akhir bulan Februari tahun anggaran berjalan, sisa Dana Desa tersebut diperhitungkan sebagai pengurang dalam penyaluran Dana Desa tahap I dari RKUN ke RKUD tahun anggaran berjalan.

(7)      Dalam hal Desa telah memenuhi persyaratan penyaluran sebelum minggu pertama bulan Juli tahun anggaran berjalan, bupati/walikota menyampaikan permintaan penyaluran sisa Dana Desa tahap I yang belum disalurkan dari RKUN ke RKUD sebagaimana dimaksud pada ayat (6) kepada Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa paling lambat minggu kedua bulan Juli tahun anggaran berjalan.

(8)      Berdasarkan permintaan penyaluran sisa Dana Desa tahap I dari bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa menyalurkan sisa Dana Desa tahap I yang belum disalurkan dari RKUN ke RKUD sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling lambat bulan Juli tahun anggaran berjalan.

(9)      Dalam hal bupati/walikota tidak menyampaikan permintaan penyaluran sisa Dana Desa tahap I sebagaimana dimaksud pada ayat (7), sisa Dana Desa tahap I yang belum disalurkan dari RKUN ke RKUD tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi Sisa Anggaran Lebih pada RKUN.

 

Pasal 156

(1)      Bupati/walikota melakukan pemotongan penyaluran Dana Desa dalam hal setelah dikenakan sanksi penundaan penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (1) huruf b, masih terdapat sisa Dana Desa di RKD lebih dari 30% (tiga puluh persen).

(2)      Pemotongan penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada penyaluran Dana Desa tahun anggaran berikutnya.

(3)      Bupati/walikota melaporkan pemotongan penyaluran Dana Desa sebagaimana pada ayat (1) kepada Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa.

 

Pasal 157

(1)      Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa melakukan pemotongan penyaluran Dana Desa dalam hal terdapat:

  1. pemberitahuan perbedaan jumlah desa daribupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ayat (3);
  2. laporan penundaan penyaluran Dana Desa dari bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (5) dan Pasal 155 ayat (3); dan/atau
  3. laporan pemotongan penyaluran Dana Desa dari bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (3).

(2)      Pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  huruf a dilakukan sebesar kelebihan salur Dana Desa pada tahun anggaran berjalan.

(3)      Sisa Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam          Pasal 147 ayat (3) digunakan untuk menutup kekurangan penyaluran Dana Desa yang diakibatkan pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

 

BAB IX

KETENTUAN LAIN-LAIN

 

Pasal 158

(1)      Dalam hal terjadi bencana alam dan/atau kerusuhan yang menyebabkan tidak dapat dilaksanakannya kegiatan DAK Fisik di daerah, maka DAK Fisik dapat dialokasikan kembali pada tahun anggaran berikutnya sesuai mekanisme penganggaran APBN.

(2)      Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dan kementerian/lembaga teknis melakukan verifikasi atas nilai DAK Fisik yang tidak terlaksana karena bencana alam dan/atau kerusuhan di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

(3)      Berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dan kementerian/lembaga teknis menyampaikan rekomendasi pengalokasian kembali DAK Fisik pada tahun anggaran berikutnya kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.

 

Pasal 159

Dalam hal terdapat kelalaian dalam proses pengelolaan TKDD yang tidak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan, maka terhadap pihak yang lalai tersebut dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS).

 

Pasal 160

(1)    Bendahara Umum Daerah/Bendahara Pengeluaran Daerah/Bendahara Desa selaku wajib pungut pajak penghasilan dan pajak lainnya wajib menyampaikan rekapitulasi atas pemotongan dan penyetoran pajak penghasilan dan pajak lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)    Rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara semesteran kepada Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah bulan Juni untuk semester pertama dan paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah bulan Desember untuk semester kedua.

(3)    Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa menyampaikan daftar daerah yang tidak menyampaikan rekapitulasi atas pemotongan dan penyetoran pajak penghasilan dan pajak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melalui Direktorat Pelaksanaan Anggaran, Direktorat Jenderal Perbendaharaan.

(4)    Berdasarkan daftar daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), KPA BUN Transfer Dana Perimbangan dapat melakukan penundaan penyaluran DAU dan/atau DBH sebesar 10% (sepuluh persen) dari besarnya DAU dan/atau DBH yang akan disalurkan pada periode berikutnya.

 

Pasal 161

(1)    Dalam rangka pengendalian pelaksanaan APBN, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dapat melakukan penundaan, pemotongan, dan/atau penghentian penyaluran TKDD sebagian dan/atau seluruhnya.

(2)    TKDD yang penyalurannya ditunda sebagian dan/atau seluruhnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperhitungkan sebagai kurang bayar untuk dianggarkan dan disalurkan pada tahun anggaran berikutnya.

 

Pasal 162

Dalam hal terdapat perubahan struktur dan/atau nomenklatur TKDD, pengelolaan TKDD yang mengalami perubahan dimaksud, diatur dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. perubahan struktur dan/atau nomenklatur yang secara substansi tidak berbeda dengan jenis TKDD dalam Peraturan Menteri ini, maka mekanisme penyaluran dan pelaporannya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dengan mempertimbangkan mekanisme yang sudah ada dalam Peraturan Menteri ini dengan pertimbangan dari kementerian teknis terkait; dan
  2. perubahan struktur dan/atau nomenklatur yang secara substansi berbeda dengan jenis TKDD dalam Peraturan Menteri ini, pengelolaannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.

 

Pasal 163

Ketentuan mengenai:

  1. Persentase pembagian DBH PBB antara provinsi, kabupaten, dan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3);
  2. Format laporan tahunan penggunaan Tambahan DBH SDA Minyak Bumi dan Gas Bumi dan rekapitulasi laporan tahunan penggunaan tambahan DBH SDA Minyak Bumi dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4) dan ayat (8);
  3. Format laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan Dana BOS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) huruf a dan huruf b;
  4. Format laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan Dana BOP PAUD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2);
  5. Format laporan realisasi pembayaran Dana TP Guru PNSD, DTP Guru PNSD, dan Dana TKG PNSD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (4);
  6. Format laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan Dana BOK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (7);
  7. Format Laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan Dana BOKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (3);
  8. Format laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan Dana PK2UKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3);
  9. Format Laporan realisasi penyerapan dan laporan realisasi penggunaan Dana Pelayanan Adminduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (2);
  10. Format Rekapitulasi SP2D DAK Nonfisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2), Pasal 88 ayat (5), Pasal 91 ayat (8), Pasal 92 ayat (4), Pasal 93 ayat (4), dan Pasal 94 ayat (5);
  11. Format laporan realisasi penyerapan DID sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (3) huruf c, dan ayat (5);
  12. Format laporan realisasi penyerapan Dana Otonomi Khusus dan DTI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3) huruf b, ayat (4) huruf b, dan ayat (5) huruf b;
  13. Format laporan realisasi penyaluran Dana Desa, laporan konsolidasi realisasi penyerapan dan capaian output Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1);
  14. Tabel referensi data bidang, kegiatan, uraian output, volume output, satuan output dan capaian output sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (7) dan Pasal 102 ayat (5);
  15. Format laporan realisasi penyerapan dan capaian output Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (2);
  16. Format LKT dan LRT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) huruf a;
  17. Format laporan belanja Infrastruktur Daerah yang bersumber dari Transfer ke Daerah yang penggunaannya bersifat umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122; dan
  18. Format laporan pemanfaatan sisa dana Transfer ke Daerah yang sudah ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140,

sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

 

Pasal 164

Ketentuan teknis yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Pengelolaan TKDD sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini, diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dan Direktur Jenderal Perbendaharaan baik secara bersama-sama maupun  sendiri-sendiri sesuai dengan kewenangannya.

 

 

 

 

BAB X

KETENTUAN PERALIHAN

 

Pasal 165

Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini:

  1. Penyaluran DAK Fisik per bidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, Pasal 81, dan Pasal 83 untuk Tahun Anggaran 2017, berlaku ketentuan sebagai berikut:
  2. Penyaluran triwulan I paling lambat tanggal 31 Mei.
  3. Laporan realisasi penyerapan dana dan capaian output kegiatan DAK Fisik per bidang tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf a angka 2 disampaikan oleh Kepala Daerah kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dalam bentuk data elektronik (softcopy) melalui Aplikasi Inovasi DAK.
  4. Berdasarkan laporan realisasi penyerapan dana dan capaian output kegiatan DAK Fisik per bidang tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud pada angka 2, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan rekomendasi penyaluran DAK Fisik triwulan I Tahun Anggaran 2017 kepada Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa melalui Koordinator KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa.
  5. Batas waktu penyampaian dokumen persyaratan penyaluran DAK Fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (6) huruf a, huruf b, huruf c, dan Pasal 83 untuk Tahun Anggaran 2017, berlaku ketentuan sebagai berikut:
  6. a) triwulan I paling lambat tanggal 19 Mei;
  7. b) triwulan II paling lambat tanggal 21 Juli; dan
  8. c) triwulan III paling lambat tanggal 20 Oktober.

 

 

 

  1. Penyampaian rekomendasi terhadap kegiatan DAK Fisik yang pembayarannya tidak dapat dilakukan secara bertahap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) untuk Tahun Anggaran 2017 paling lambat bulan April.
  2. Penyampaian laporan realisasi penyerapan dana dan capaian output, daftar kontrak kegiatan dan/atau bukti pemesanan barang atau bukti sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (10) untuk Tahun Anggaran 2017 disampaikan oleh Kepala Daerah kepada Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa paling lambat tanggal 19 Mei.
  3. Penyaluran Dana BOS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (4) dan ayat (5), serta Dana TP Guru PNSD, DTP Guru PNSD, dan Dana TKG PNSD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (5) dan ayat (6) untuk triwulan I, triwulan II, dan semester I dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.07/2016 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebagaimana telah                 diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.07/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.07/2016 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa.
  4. Penyaluran DID untuk Tahun Anggaran 2017 dan penyaluran Dana Otonomi Khusus untuk tahap I Tahun Anggaran 2017 dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.07/2016 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.07/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan                Nomor 48/PMK.07/2016 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa.

 

 

  1. Penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 untuk tahap I Tahun Anggaran 2017, berlaku ketentuan sebagai berikut:
  2. penyaluran paling cepat bulan April dan paling lambat bulan Juli 2017;
  3. dokumen persyaratan penyaluran Dana Desa tahap I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1) huruf a disampaikan oleh Kepala Daerah kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan; dan
  4. berdasarkan dokumen persyaratan penyaluran Dana Desa tahap I sebagaimana dimaksud pada angka 2, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan rekomendasi penyaluran Dana Desa tahap I Tahun 2017 kepada Kepala KPPN selaku KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa melalui Koordinator KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa.
  5. Penyampaian laporan belanja Infrastruktur Daerah yang bersumber dari Transfer ke Daerah yang penggunaannya bersifat umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 untuk Tahun Anggaran 2017 disampaikan paling lambat 31 Juli 2017 dan menjadi syarat penyaluran DAU bulan September 2017.

 

BAB XI

 

KETENTUAN PENUTUP

 

Pasal 166

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:

  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.07/2016 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 477) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.07/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan                 Nomor 48/PMK.07/2016 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1850); dan
  2. ketentuan Pasal 11 sampai dengan Pasal 42 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.07/2016 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Desa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 478),

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

 

Pasal 167

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

 

 

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal

 

MENTERI KEUANGAN

REPUBLIK INDONESIA,

 

 

 

SRI MULYANI INDRAWATI

 

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal

 

DIREKTUR JENDERAL

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

 

 

 

WIDODO EKATJAHJANA

 

 

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR